Tuesday, June 30, 2015

Tentang Maut

Di ujung bait itu mulai tampak sebuah titik

yang kemudian runtuh, 5 menit setelah itu.


Di ujung ruang itu mulai tampak sederet jari

yang ingin memungutnya kembali.


Tapi mungkin

itu tak akan pernah terjadi.


Ini jam yang amat biasa: Maut memarkir keretanya


di ujung gang dan berjalan tak menentu.


Langkahnya tak seperti yang kau bayangkan: tak ada gempa, tak ada hujan asam, tak ada

parit yang meluap.


Hanya sebuah sajak, seperti kabel yang putus.


Atau hampir putus.



Oleh :

Goenawan Mohammad

Monday, June 29, 2015

Yang Tak Menarik Dari Mati

Yang tak menarik dari mati

adalah kebisuan sungai

ketika aku

menemuinya.

Yang menghibur dari mati

adalah sejuk batu-batu,

patahan-patahan kayu

pada arus itu.



Oleh :

Goenawan Mohammad

Sunday, June 28, 2015

Di Mercu Suar

Berdirilah di sudut, katamu.

Raba tembok tua itu.

Di dekat pigura yang tergores pisau,

tertulis “1927”.


Siapa tahu kita akan tenang dengan ruang yang dihuni waktu: pintu kayu besi yang

dibalur lumut, engsel yang digerus asin laut, gambar dua mendiang presiden pada

dinding….


Mungkin mercu ini akan melindungi kita

dari hal-hal yang berarti,

dengan tamasya yang minimal.

Seorang penjaga pernah menuliskan

satu kalimat di langit-langitnya,

“Cahayaku memberikan segalanya ke samudera.”


Kita belum tahu siapa yang pernah di sini, adakah kita tamu di sini.

Tertahan di sepetak pulau, kita bisa juga betah dengan sebungkah karang

dan seonggok tanggul yang membiasakan diri kepada pasang – seperti semak

jeruju kering di utara yang tak jauh itu yang hampir hanyut, tapi selalu

menemui ombak.


Aku tak bisa jawab

apa yang akan lenyap

dan yang tiba

kelak.


Apa yang dicatat,

apa yang diingat?

Apa yang disimpulkan?

Jangan-jangan di mercu ini kita akan juga bikin sejarah, kataku.


Barangkali, jawabmu, tapi jangan cemas, sejarah hanya sebentuk origami,

kisah yang tersusun dari ingatan,

lipatan yang tak dijahit mati, camar kertas yang terbang diguncang angin

dan dipercakapkan dari jauh.


Kita juga yang kemudian membayangkan arahnya.


Menakjubkan bahwa kau begitu sabar.


Ah, berdirilah di sudut, jawabmu,

dan lihat: laut tak menginvasi.

Dari mercu ini kita akan mencoba mengerti badai

ketika langit tak bisa diharapkan.


**


Pada debur ombak berikutnya,

aku terkantuk dengan mimpi yang tipis:

Sebuah jung. Deretan layar malam.

Dua orang di buritan

yang tak tahu mereka di mana.

“Tapi kita bahagia,”

kata salah seorang di antaranya.


Sebenarnya mereka berharap

ada seseorang yang di bandar menantikan.

Tapi anak yang tertidur di dermaga dengan kostum kapas itu mengigau,

tak memanggil….


Ketika aku terbangun, angin meraung.

Di dinding kulihat bayang kita yang bongkok sedikit

dan Ajal yang bergerak

seperti siluet tangan seorang anak.


Barangkali di pucuk mercu suar ini

telah diterakan sepasang inisial –

nama yang akan lama tinggal

nama yang mati;

nama kita yang mati.



Oleh :

Goenawan Mohammad

Saturday, June 27, 2015

Sjahrir, Di Sebuah Sel

— untuk Rudolf Mrazek


Dari jendela selnya,

(kita bayangkan ini Jakarta,

Februari 1965, dan ruang itu lembab,

dan jendela itu rabun),

ia merasa siluet pohon

mengubah diri jadi Des,

anak yang berjalan dari selat

memungut cangkang nyiur,

dan melemparkannya

ke ujung pulau.

“Aku selalu berkhayal tentang selat,

atau taman kembang, atau anak-anak.”


Itu yang kemudian ditulisnya

di catatan harian.


Maka ditutupkannya daun jendela

dan ia kembali ke meja,

ke peta dengan warna laut

yang tak jelas lagi.


Ia cari kapal Portugis.


Tapi Banda begitu pekat, dan laut

menyembunyikan ingatannya.


(Seorang pemetik pala

pernah mengatakan itu

di sebuah bukit

kepada Hatta).


Kini ia mengerti: juga peta

menyembunyikan ingatannya,

seperti malam Rusia

menyembunyikan sebuah kota.

Tiap pendarat tak akan

mengenali letak dangau,

jejak ketam pasir,

batang rambai yang terakhir,

di mana sisa hujan

agak disamarkan.


“Sjahrir. Bukankah lebih baik lupa?”


Seekor ular daun pernah menyusup

ke sandalnya dan ia ingat ia berkata,

“Mungkin. Mungkin aku tak akan mati.”


Esoknya ia berlayar.

Di jukung itu anak-anak mengibarkan

bendera negeri yang belum mereka kenal.


“Lupa adalah….”


“Jangan kau kutip Nietzsche lagi!”.


“Tidak, Iwa. Aku hanya ingin tahu

sejauh mana kita merdeka.”


Di beranda rumah Tjipto,

di tahun 1936 itu,

percakapan sore,

di antara pohon-pohon Naira,

selalu menenteramkan.

“Jangan beri kami altar

dan tuhan imperial,”

seseorang menirukan doa.


“Tapi kita dipenjarakan, bukan?”


Ya, tapi ini penjara yang pertama,

yang memisahkannya dari ingin

dan kematian.


“Ah, lebih baik kita diam,”

kata tuan rumah.

“Abad ke-20 adalah abad

yang memalukan.”


Di sana, di beranda rumah Tjipto,

menjelang malam, di tahun 1936,

mereka selalu tertawa

mengulang kalimat itu.


Di sini, (kita bayangkan di Jakarta,

Rumah Tahanan Militer, 1965),

ia tak pernah merasa begitu sendiri.


Hanya ada suara burung tiung

(atau seperti suara burung tiung)

ketika siang diam.


Tapi ia takut duduk.


Ia tak ingin menghadap ke laut,

(andaikan ada laut),

seperti patung Jan Pieterzoon Coen,

seperti pengintai di menara benteng

yang menunggu kapal-kapal

di dekat langit

sebelum perang.


Ia tak ingin duduk.


“Siapa yang menatap jurang dalam,

jurang dalam akan menatapnya.”


Mungkinkah ia sendiri

yang mengucapkannya di sel itu?


2014



Oleh :

Goenawan Mohammad

Friday, June 26, 2015

Marco Polo

Hari masih gelap, hari Rabu itu, ketika Marco Polo pulang,

jam 6 pagi di musim gugur, beberapa abad kemudian.


I

Di dermaga Ponte Rialto tak dikenalinya lagi

camar pertama. Di parapet jembatan itu

tak bisa ia baca lagi beberapa huruf tua

yang menyela kabut

sepanjang kanal.

Hanya dilihatnya seorang perempuan Vietnam

mendaki tangga batu yang bersampah.

Dan Marco Polo tak tahu pasti

apakah perempuan itu bernyanyi

di antara desau taksi air.

Apakah ia bahagia.

Atau ia hanya ingin menemani seorang hitam

yang berdiri sejak tadi di bawah tiang lampu

di depan kedai pizza, selama angin

merekatkan gerimis.

“Kalian datang dari mana?,” pengelana Venezia itu bertanya.

“Tidak dari jauh,” jawab perempuan itu,70-640

“Tidak dari jauh,” jawab orang hitam itu.

1z0-051

Dan camar pertama itu terbang.

Ia pernah kenal pagi seperti ini:

pagi yang dulu tak menghendakinya pergi.


II

Bau kopi pada cangkir

sebelum kantin membuka pintunya,

bau lisong pada kursi

yang masih belum disiapkan:

yang tak berumah di kota ini

tak akan pernah memulai hari.


III

Dua jam ia coba temukan tanda delima

yang pernah diguratkan diujung tembok

lorong-lorong sempit.

Tapi Venezia, di tahun 2013 Masehi,

tak lagi menengok

ke arahnya.


IV

Di Plaza San Marco, dari dinding Basilika

malaikat tak bertubuh

menemukan gamis yang dilepas.

“Adakah kau lihat,

seseorang telah menemukan seseorang lain

dan berjalan telanjang

ke arah surga?”

Tak ada yang menjawab.

Hanya Marco Polo yang ingin menjawab.

Tapi dari serambi kafe

orkes memainkan La Cumparsita

dan kursi-kursi putih menari

tak kelihatan, sampai jauh malam

Ketika kemudian datang hujan yang seperti tak sengaja,

seorang turis tua berkata: “Akan kubeli topi Jepang

yang dijajakan pada rak,

akan kupasang

ke kepala anak yang hilang dari emaknya.”


V

Menjelang tengah malam, para pedagang Benggali

masih melontarkan benda bercahaya

ke menara lonceng. “Malam belum selesai”, kata mereka,

“malam belum selesai.”

Marco Polo mengerti.

Ia teringat kunang-kunang.


VI

Cahaya-cahaya

setengah bersembunyi

pada jarak 3 kilometer dari laut

Dan di laut itu

terbentang

gelap aneh yang lain.

“I must be a mermaid, Rango. I have no fear of depths

and a great fear of shallow living.” ― Anaïs Nin


VII

Esoknya hari Minggu, dan dibilik Basilika padri itu bertanya:

Tuan yang lama bepergian, apa yang akan tuan akui sebagai dosa?”

Marco Polo: “Iman yang tergesa-gesa”.

Saya tak paham.”

Marco Polo: “Aku telah menyaksikan kota yang sempurna.

Dindingnya dipahat dengan ekses dan peperangan

di mana tuhan tak menangis.”


VIII

Di Hotel Firenze yang sempit

Marco Polo bermimpi angin rendah dengan harum kemuning.

Ia terbangun.

Ia lapar,

ia tak tahu.

Ia kangen.

ia tak tahu.

Ia hanya tahu ada yang hilang dari slimutnya:

warna ganih, bau sperma,

dan tujuh remah biskuit

yang pernah terserak

di atas meja.


IX

Pada jam makan siang

dari ventilasi kamar

didengarnya imigran-imigran Habsi

bernyanyi,

Aku ingin mengangkut hujan dari kaki dewa-dewa,

aku ingin datangkan sejuk sebelum tengah hari besok,

aku akan lepaskan perahu dari kering.

Di antara doa dan nyanyi itu

derak dayung-dayung gondola mematahkan

sunyinya.


X

Sebulan kemudian.

Di hari Senin itu

musim mengeras tua

dan Marco Polo membuka pintu.

Cuaca masih gelap.

Jam 6 pagi.

Biduk akan segera berangkat.

“Tuanku, Tuhanku,

aku tak ingin pergi.”

Ia berlutut.

Ia berlutut tapi dilihatnya laut datang

dengan paras orang mati.



Oleh :

Goenawan Mohammad

Thursday, June 25, 2015

Tentang Seorang Yang Terbunuh Di Sekitar Hari Pemilihan Umum

“Tuhan, berikanlah suara-Mu, kepadaku”


Seperti jadi senyap salak anjing ketika ronda menemukan mayatnya

di tepi pematang. Telungkup. Seperti mencari harum dan hangat padi.

Tapi bau sing itu dan dingin pipinya jadi aneh, di bawah bulan.

Dan kemudian mereka pun berdatangan - senter, suluh dan

kunang-kunang - tapi tak seorang pun mengenalnya. Ia bukan orang sini, hansip itu berkata.


“Berikan suara-Mu”


Di bawah petromaks kelurahan mereka menemukan liang luka yang lebih.

Bayang-bayang bergoyang sibuk dan beranda meninggalkan bisik.

Orang ini tak berkartu. Ia tak bernama. Ia tak berpartai. Ia tak

bertandagambar. Ia tak ada yang menangisi, karena kita tak bisa menangisi. Apa gerangan

agamanya ?


“Juru peta yang Agung, dimanakah tanah airku ?”


Lusa kemudian mereka membacanya di koran kota, di halaman

pertama. Ada seorang menangis entah mengapa. Ada seorang

yang tak menangis entah mengapa. Ada seorang anak yang letih

dan membikin topi dari koran pagi itu, yang diterbangkan angin

kemudian. Lihatlah. Di udara berpasang layang-layang, semua

bertopang pada cuaca. Lalu burung-burung sore hinggap di kawat,

sementara bangau-bangau menuju ujung senja, melintasi lapangan

yang gundul dan warna yang panjang, seperti asap yang sirna.


“Tuhan, berikan suara-Mu, kepadaku”



Oleh :

Goenawan Mohammad

Wednesday, June 24, 2015

Pada Album Miguel De Covarobias

Kuinginkan tubuhmu

dari zaman

yang tak punya tanda,

kecuali warna sepia.


Pundakmu

yang bebas ,

akan kurampas

dari sia-sia.


Akan kuletakan sintalmu

pada tubir meja:

telanjang

yang meminta


kekar kemaluan purba,

dan zat hutan

yang jauh, dengan surya

yang datang sederhana.


Akan kubiarkan waktu

mencambukmu,

lepas. Tak ada yang tersisa

dalam pigura


juga api yang tertinggal

pada klimaks ketiga,

juga para dewa, juga kau

yang akan runduk


Kematian pun akan masuk kembali

kembali, kembali...

Mari.

Kuinginkan tubuhmu


dari zaman

yang tak punya tanda

kecuali

warna sepia



Oleh :

Goenawan Mohammad

Tuesday, June 23, 2015

Tigris

Sungai demam

Karang lekang

Pasir pecah

pelan-pelan


Gurun mengerang: Babilon!

Defile berjalan


Lalu Tuhan memberi mereka bumi

Tuhan memberi mereka nabi


Antara sejarah

dan sawah

hama

dan Hammurabi


Setelah itu, kita tak akan di sini


Kau dengarkah angin ngakak malam-malam

ketika bulan seperti

susu yang tertikam

ketika mereka memperkosa

Mesopotomia?


Seorang anak berlari, dan seperti dulu

ia pun mencari-cari

kemah di antara pohon-pohon tufah


Jangan menangis.


Belas adalah

Iblis karena Tuhan telah menitahkan airmata

jadi magma, bara yang diterbangkan bersama

belibis, burung-burung sungai yang akan

melempar pasukan revolusi

dengan besi dan api

"Ababil! Ababil!" mereka akan berteriak.

Bumi perang sabil.


Karena itulah, mullah, jubah ini

selalu kita cuci dalam darah di tebing

Tigris yang kalah

Dari Najaf ada gurun. Kita sebrangi

dengan geram dan racun. Dan tiba di Kerbala

akan kita temui pembunuhan

yang lebih purba.


(Ibuku. Seandainya kau tahu kami adalah anak-anakmu)



Oleh :

Goenawan Mohammad