Sunday, November 30, 2014
Saturday, November 29, 2014
Kematian
lelaki bernyanyi sepenuh hati
didorongnya beton ke puncak tinggi
di hari sebelum lebaran
di rumah anak menunggu baju baru
tapi tali putus beton terguling
lelaki tak lagi bernyanyi
ada isteri jadi janda
ada anak kehilangan bapak
di hari sebelum lebaran
pintu tak terbuka
ayah tak kembali
sia-sia menanti
sepanjang hari
muka yang sudah remuk
anaknya menjerit yatim
ayah bisakah mati
muka yang tiada lagi bentuk
tepekur pengantar kubur
nyawa lepas tak tersangka
1954
Oleh :
Ajip Rosidi
Warna
menyala warna membakar dada ~ Ajip Rosidi
hari-hari penuh bisa
waktu dihabisi mimpi-mimpi
bocah meningkat dewasa
tiga jalan pertemuan
dalam mengerti
dalam diri
menyerah ke mata nyalang
warna nyala dalam waktu dalam ruang
selama jarak masih ada
selama ia belum mengerti
1954
Oleh :
Ajip Rosidi
Thursday, November 27, 2014
Penyair
adapun penyair lahir
membangkitkan kematian para penyihir
lalu dengan mantra kata-kata
menjelmakan kehidupan manusia
menyanyikan kelahiran cinta
atau menangisi kematian bunda
melagukan kesia-siaan rindu, kau pun tahu
segala yang beralamat duka
siapa menjelajahi pagi
mendapat pertama sinar mentari
lagu kunyanyikan kini
akan dimengerti nanti
lagu kusajakkan kini
suara lubuk hati
yang selalu sunyi
1954
Oleh :
Ajip Rosidi
Wednesday, November 26, 2014
Jalan Lempeng
sebuah lukisan S. Soedjojono
Burung gagak, burung gagak! Biarkan dia berjalan!
Biarkan dia berjalan, membungkuk pada keyakinannya
Bertolak dari bumi kehidupan lampau, begitu ia melangkah
Pasti dan yakin. Karena ada mimpi di balik gunung itu:
Lembah hijau hidup segar. Karena di sini batu mencair
Gurun mati. Tandus dan sepi.
Burung gagak, biarkan dia berjalan. Di ruas-ruas langkahnya
Menyala dendam pada bumi lampau. Di dadanya padat kesumat
Pada dunia kehidupan yang mati di sini.
Burung gagak, sampaikan salamku padanya. Salam bagi
Yang sudah melangkah atas keyakinan. Salam bagi
Yang sudah berani bikin perhitungan tandas sekali.
Gunung-gunung yang membatu, gersang dan kering,
kan takluk pada tapaknya.
Satu demi satu kan dilewatinya. Ia terjang dunia mati.
Burung gagak, kini ia berjalan. Melangkah dengan gagah
Ia tahu di balik gunung ada mimpi, ada lembah
Tidak cair meleleh seperti bumi yang menggolak ini.
Semua kan tunduk kepadaNya.
Semua kan menyerah pada langkahnya. Karena ia berjalan
Atas keyakinan.
Biarkan dia berjalan!
Gunung dari lembah sana, gaung dari mimpi diri.
Burung gagak, ia dengar nyanyi itu. Dan ia menuju ke situ.
Pohon-pohon mati dan sepi. Padang pun mati dan sepi.
Batu-batu mencongak ngeri, tajam dan mengancam.
Tapi ia melangkah menuju lembah-lembah mimpi.
Ia sendirian. Batu-batu dan alam geram.
Gunung mendinding di ujung. Langit pun kan menerkam.
Dan ia melangkah dengan pasti: Batu cair jadi beku.
Langit pun jadi membiru, mengucapkan selamat jalan
Menempuh kehidupan.
Burung gagak, burung gagak, biarkan dia berjalan
Sampaikan salam yang erat dan hangat. Ia yang yakin
Ada mimpi di balik gunung batu, ada lembah hijau dan lembut
Kehidupan tenang, sawah-ladang, padang rumput....
Jangan kauganggu!
1955
Oleh :
Ajip Rosidi
Tuesday, November 25, 2014
Tiada Yang Lebih Aman
Tiada yang lebih aman, pun tiada yang lebih nikmat
Membayangkan masalampau yang dalam kenangan terpahat.
Tiada yang lebih berat, pun tiada yang lebih berarti
Dan saat kini yang 'kan seg'ra lepas pula jadi mimpi.
Tiada yang lebih gamang, pun tiada yang lebih senang
Menghadapi masadatang, yang 'kan segera jadi sekarang.
Detik-detik berloncatan, tak satu pun kembali terulang
Karena antara tadi dan nanti, sekarang menghalang.
1962
Oleh :
Ajip Rosidi
Monday, November 24, 2014
Jeram
Air beterjunan dalam jeram
Buihnya memercik ke tebing tempat kami berbaring
Dan ia mengelaikan kepala
Dengan mata meram terpejam
Atas tanganku yang mencari-cari
Arah manakah burung gagak hinggap
yang suaranya nyaring
Memecah ketenangan hutan
Sehabis hujan.
Air beterjunan dalam jeram
Jerom gemuruh dalam darahku
Dan dalam mimpi keabadian yang nyaman
Kubisikkan kata-kata bagaikan desir angin
Mengeringkan keringat atas kening
Sedang mataku memandang tak yakin
Air berbuih yang menghilir
Entah kapan 'kan tiba
Di muara
Air beterjunan dalam jeram
Kata-kata beterjunan dari mulutku
Sungai pun tahu arti muara
Yang tak sia-sia menunggu.
Burung gagak berteriak entah di mana
Dan ia bersenandung entah mengapa
Karena dalam kesesaatan tak terjawab tanya lama
Yang sudah lama hanya tanya: Hingga mana? Pabila?
Mau apa... ?
Dan dengan jari-jari gemetar
Kuyakinkan hatiku sendiri: Segalanya
Berlaku percuma serta sia-sia
Dan perempuan ini 'kan mati dalam kepingin
Karena angin hanya angin
Karena jeram beterjunan dalam diriku
Yang tak mengenal musim kemarau
Air beterjunan dalam jeram
Dan jeram beterjunan dalam darahku.
1962
Oleh :
Ajip Rosidi
Sunday, November 23, 2014
Episode
Di luar alam gerimis
karena kau menangis
dan airmatamu
membasahi dadaku.
Padang ilalang bergelombang
dan angin semilir,
rumpun bambu berkesiur, burung terbang,
gemuruh airterjun, menghilir
Adalah mimpi yang jauh
adalah harapan yang jauh
dalam cinta yang rapuh.
Yang abadi
di dunia sebelum mati
hanya kenangan
yang muncul sesekali
1963
Oleh :
Ajip Rosidi
Saturday, November 22, 2014
Hari Lebaran
Hari ini hari hati percaya
Akan arti hidup dan mati, yang cuma sempat
Direnungkan setahun sekali. Sungguh besar maknanya
Jalan panjang menuju liang-lahat.
Hari ini hari kesadaran akan tradisi
Menyempatkan umat sejenak bersama-sama
Menghirup udara lega dalam kepungan derita
Sehari-hari yang bikin orang jauh-menjauhi.
Hari ini hariku pertama 'kan menjalani
Hidup antara manusia, sedangkan diriku sendiri
Makin sepi terasing, lantaran mengerti
Kelengangan elang di langit tinggi.
Jatiwangi, H. 1381
Oleh :
Ajip Rosidi
Friday, November 21, 2014
Harituaku
Pabila harituaku tiba, kelak suatu masa
Kacamata tebal atas hidung, bersenandung
Menembangkan lelakon lama. La1u tersenyum
Memandang bayangan atas kaca jendela
Yang putih warnanya, sampai pun alis, bulu mata ...
Maka namamu 'kan kusebut, dengan bibir gemetar
Bagai ayat kitab suci, tak sembarang boleh terdengar
Namun kala itu yang empunya nama entah di mana
Apakah lagi menyulam, duduk bungkuk atas kursi rotan
Ataukah sedang menimang cucu, mungkin pula telah lama
Aman berbaring dalam tilam penghabisan.
Dan pabila giliranku tiba, telentang
Dengan kedua belah tangan bersilang
Sebelum Sang Maut menjemput
Sekali lagi namamu 'kan kusebut, lalu diam. Mati.
1963
Oleh :
Ajip Rosidi
Thursday, November 20, 2014
Kebenaran
buta oleh dusta yang membias-silau
nilai-nilai kebenaran pun disembunyikan:
namun di antara semak-rumputan hijau
ia tetap bersinar kemilau:
Tak nanti terpadamkan!
Oleh :
Ajip Rosidi
Wednesday, November 19, 2014
Ibunda
Ia terbujur
Bumi subur
Lembah-lembah dan gunung
Telentang tenang
Tangannya mengusap sayang
Perut mengandung.
Matanya nyalang
Langit-langit pun hilang
Karena langit penuh bintang
Dan pahlawan menyandang pedang
Naik kuda hitam zanggi
Adalah masadepan si-jabang
yang dalam rahim
menggeliat geli.
la memejam
Menahan nyeri.
Lalu terbayang
Bundanya tersenyum di ambang
"Tidakkah dahulu
Kusakiti juga bundaku?"
Keringat bermanik bening
Atas jidat, kening.
Ia mengerang
Dan malam yang lengang
Mendengar lantang
Teriakan si-jabang.
1961
Oleh :
Ajip Rosidi
Sajak Buat Tuhan
Kalau aku bicara padaMu, Tuhan
Bukan mau mengadukan dera dan derita
Tak kuharap Kau berdiri di depan
Ke dahiku mengeluskan tangan mesra
Kalau kutulis sajak ini, Tuhan
Bukan lantaran rindu-dendam atau demam
Tak kuharap Kau membacanya
Sambil duduk mengisap pipa kala senja
Karena Kau lebih tahu apa rasa hatiku
Dan mengerti bagaimana pikiranku
Karena Kau paling Aku dari aku
Yang terkadang kesamaran sama bayangan.
8-1-1960
Oleh :
Ajip Rosidi
Monday, November 17, 2014
Sajak Buat Tuhan II
Makin terasa, betapa sendiri
Hidupku bermukim di bumi. Tiada kawan
yang mau mengulurkan tangan
dan sedia bersama menempuh jalan
tatkalaa tiap langkah buntu.
Tak seorang pun, juga Kau
datang mendekat, menepuk-nepuk bahu
menganjurkan tabah dan jangan ragu.
Tiada. Hanya aku saja lagi
yang setia padaku. Hidup bersama
dalam duka dan putusasa.
Hanya aku jua, yang tetap cinta
kepada hidupku, tiada dua! Duh, tiada
lagi yang lain kujadikan gagang
tempat sirih pulang.
Rasa sendiri di dunia ramai, mengeratkan
aku padaMu, sepi-mutlak!
Rasa lengang di tengah orang, menyadarkan
antara Kau dan aku tiada jarak!
Saat seluruh bumi diam sunyi ....
16-4-1960
Oleh :
Ajip Rosidi
Sunday, November 16, 2014
Tamu
Kau yang menjenguk ke dalam relung hatiku
Meninggalkan jejak menjadi saksi. Sejarah, pahatan batu .
Dari dendam yang rindu. Tak nanti
Hidup hanya rangkaian mimpi-mimpi. Aku tahu!
1969
Oleh :
Ajip Rosidi
Saturday, November 15, 2014
Tentang Maut
Kulihat manusia lahir, hidup, lalu mati
Menerima atau menolak, tak peduli
Dengan tangan dingin namun pasti
Sang Maut datang dan tiap hidup ia akhiri.
Kuperhatikan perempuan sedang mengandung
Wajahnya riang, mimpinya menimang si jabang
Namun kulihat Sang Maut aman berlindung
Dalam rahim sang ibu ia bersarang.
Kuperhatikan bayi lahir
Dan pertama kali udara dia hirup
Dalam tangisnya kudengar Sang Maut menyindir:
"Jangan nangis, kelak pun hidupmu kututup".
Yang kukandung sejak hidup kumulai
Takkan kutolak, meski ia kubenci
Tapi kalau hidupku nak dikunci
Datang Tuhan menawari:
"Sukakah kau hidup semenit lagi?"
Kujawab pasti: "Suka sekali!"
Seperti gelap bagi kanak-kanak, pernah pada Maut aku ngeri
Karena tak berketentuan, bisa nyergap sesuka hati
Membayangi langkah, mengintip menanti saat
Dan bagi kesadaran jadi beban paling berat.
Kupertentangkan ia dengan Hidup yang seolah 'kan dia rebut
Kupilih pihak: Karena pada siksa neraka aku takut;
Namun kini tiada lagi, karena selalu kudapati
Napasnya menghembus dalam tiap hidup yang fana ini.
1960
Oleh :
Ajip Rosidi
Friday, November 14, 2014
Diriku
Diriku samudra
Dilayari kapal, perahu, bajak
Tiada jejak.
Yang sementara
Berasal dari Tiada
'Kan lenyap dalam
Tada
1961
Oleh :
Ajip Rosidi
Thursday, November 13, 2014
Cinta dan Kepercayaan
Dalam hidup 'kan kupertahankan
Nilai hubungan antar-manusia, didasarkan
Atas cinta dan kepercayaan.
'Kan kupertahankan kehangatan
Gamitan dua tangan, menyampaikan
Kehangatan rasa dua jiwa.
Cinta adalah bunga tumbuh
Atas kesuburan tanah kasih, berakarkan
Hati mau mengerti, saling membagi.
Dan kepercayaan, landasan
Kerelaan dan kemesraan.
Pertalian dua hati.
1960
Oleh :
Ajip Rosidi
Wednesday, November 12, 2014
Antara Kita
Pabila jiwa bertelanjang depan jiwa
Suatu pun tiada guna: basa-basi, upacara ....
Jarak pun tiada lagi, sehingga cukuplah
Sekulum senyum, sekerling mata. Sudah!
1960
Oleh :
Ajip Rosidi
Tuesday, November 11, 2014
Bayangan
Bayanganmu terekam pada permukaan piring, pada dinding
Pada langit, awan, ah, ke mana pun aku berpaling:
Dan di atas atap rumah angin pun bangkit berdesir
Menyampaikan bisikmu dalam dunia penuh bisik.
Masihkah dinihari Januari yang renyai
Suatu tempat bagi tanganku membelai?
Telah habis segala kata namun tak terucapkan
Rindu yang berupa suatu kebenaran.
Bayangan, ah, bayanganmu yang menagih selalu
Tidakkah segalanya sudah kusumpahkan demi Waktu?
Tahun-tahun pun akan sepi berlalu, kutahu
Karena dunia resah 'kan diam membisu.
1967
Oleh :
Ajip Rosidi
Subscribe to:
Posts (Atom)