Monday, June 30, 2014

Sajak S L A


Murid-murid mengobel klentit ibu gurunya 

Bagaimana itu mungkin ? 

Itu mungkin. 

Karena tidak ada patokan untuk apa saja. 

Semua boleh. Semua tidak boleh. 

Tergantung pada cuaca. 

Tergantung pada amarah dan girangnya sang raja. 

Tergantung pada kuku-kuku garuda dalam mengatur kata-kata.

Ibu guru perlu sepeda motor dari Jepang. 

Ibu guru ingin hiburan dan cahaya. 

Ibu guru ingin atap rumahnya tidak bocor. 

Dan juga ingin jaminan pil penenang, 

tonikum-tonikum dan obat perangsang yang dianjurkan oleh dokter. 

Maka berkatalah ia 

Kepada orang tua murid-muridnya : 

“Kita bisa mengubah keadaan. 

Anak-anak akan lulus ujian kelasnya, 

terpandang di antara tetangga, 

boleh dibanggakan pada kakak mereka. 

Soalnya adalah kerjasama antara kita. 

Jangan sampai kerjaku terganggu, 

karna atap bocor.”

Dan papa-papa semua senang. 

Di pegang-pegang tangan ibu guru, 

dimasukan uang ke dalam genggaman, 

serta sambil lalu, 

di dalam suasana persahabatan, 

te***nya disinggung dengan siku.

Demikianlah murid-murid mengintip semua ini. 

Inilah ajaran tentang perundingan, 

perdamaian, dan santainya kehidupan.

Ibu guru berkata : 

“Kemajuan akan berjalan dengan lancar. 

Kita harus menguasai mesin industri. 

Kita harus maju seperti Jerman, 

Jepang, Amerika. 

Sekarang, keluarkanlah daftar logaritma.”

Murid-murid tertawa, 

dan mengeluarkan rokok mereka.

“Karena mengingat kesopanan, 

jangan kalian merokok. 

Kelas adalah ruangbelajar. 

Dan sekarang : daftar logaritma !”

Murid-murid tertawa dan berkata : 

“Kami tidak suka daftar logaritma. 

Tidak ada gunanya !”

“kalian tidak ingin maju ?”

“Kemajuan bukan soal logaritma. 

Kemajuan adalah soal perundingan.”

“Jadi apa yang kalian inginkan ?”

“Kami tidak ingin apa-apa. 

Kami sudah punya semuanya.”

“Kalian mengacau !”

“Kami tidak mengacau. 

Kami tidak berpolitik. 

Kami merokok dengan santai. 

Seperti ayah-ayah kami di kantor mereka : 

santai, tanpa politik 

berunding dengan Cina 

berunding dengan Jepang 

menciptakan suasana girang. 

Dan di saat ada pemilu, 

kami membantu keamanan, 

meredakan partai-partai.”

Murid-murid tertawa. 

Mereka menguasai perundingan. 

Ahli lobbying

Faham akan gelagat. 

Pandai mengikuti keadaan. 

Mereka duduk di kantin, 

minum sitrun, 

menghindari ulangan sejarah. 

Mereka tertidur di bangku kelas, 

yang telah mereka bayar sama mahal 

seperti sewa kamar di hotel. 

Sekolah adalah pergaulan, 

yang ditentukan oleh mode, 

dijiwai oleh impian kemajuan menurut iklan. 

Dan bila ibu guru berkata : 

“Keluarkan daftar logaritma !” 

Murid-murid tertawa. 

Dan di dalam suasana persahabatan, 

mereka mengobel ibu guru mereka.


Oleh : 

W.S. Rendra

Sunday, June 29, 2014

Sajak Pulau Bali


Sebab percaya akan keampuhan  industri 

dan yakin bisa memupuk modal nasional 

dari kesenian dan keindahan alam, 

maka Bali menjadi obyek pariwisata.

Betapapun : 

tanpa basa-basi keyakinan seperti itu, 

Bali harus dibuka untuk pariwisata. 

Sebab : 

pesawat-pesawat terbang jet sudah dibikin, 

dan maskapai penerbangan harus berjalan. 

Harus ada orang-orang untuk diangkut. 

Harus diciptakan tempat tujuan untuk dijual.

Dan waktu senggang manusia, 

serta masa berlibur untuk keluarga, 

harus bisa direbut oleh maskapai 

untuk diindustrikan.

Dan Bali, 

dengan segenap kesenian, 

kebudayaan, dan alamnya, 

harus bisa diringkaskan, 

untuk dibungkus dalam kertas kado, 

dan disuguhkan pada pelancong.

Pesawat terbang jet di tepi rimba Brazilia, 

di muka perkemahan kaum Badui, 

di sisi mana pun yang tak terduga, 

lebih mendadak dari mimpi, 

merupakan kejutan kebudayaan.

Inilah satu kekuasaan baru. 

Begitu cepat hingga kita terkesiap. 

Begitu lihai sehingga kita terkesima.

Dan sementara kita bengong, 

pesawat terbang jet yang muncul dari mimpi, 

membawa bentuk kekuatan modalnya : 

lapangan terbang. “hotel – bistik – dan – coca cola”, 

jalan raya, dan para pelancong.

“Oh, look, honey – dear ! 

Lihat orang-orang pribumi itu! 

Mereka memanjat pohon kelapa seperti kera. 

Fantastic ! Kita harus memotretnya ! 

…………………………..

Awas ! Jangan dijabat tangannya ! 

senyum saja and say hello

You see, tangannya kotor 

Siapa tahu ada telor cacing di situ. 

…………………….

My God, alangkah murninya mereka. 

Ia tidak menutupi te***nya ! 

Look, John, ini benar-benar te***. 

Lihat yang ini ! O, sempurna ! 

Mereka bebas dan spontan. 

Aku ingin seperti mereka….. 

Eh, maksudku….. 

Okey ! Okey !….Ini hanya pengandaian saja. 

Aku tahu kamu melarang aku tanpa beha. 

Looknow, John, jangan cemberut ! 

Berdirilah di sampingnya, 

aku potret di sini. 

Ah ! Fabolous !”

Ia tidak menutupi te***nya ! 

Look, John, ini benar-benar te***. 

Lihat yang ini ! O, sempurna ! 

Mereka bebas dan spontan. 

Aku ingin seperti mereka….. 

Eh, maksudku….. 

Okey ! Okey !….Ini hanya pengandaian saja. 

Aku tahu kamu melarang aku tanpa beha. 

Looknow, John, jangan cemberut ! 

Berdirilah di sampingnya, 

aku potret di sini. 

Ah ! Fabolous !”

Dan Bank Dunia 

selalu tertarik membantu negara miskin 

untuk membuat proyek raksasa. 

Artinya : yang 90 % dari bahannya harus diimpor.

Dan kemajuan kita 

adalah kemajuan budak 

atau kemajuan penyalur dan pemakai.

Maka di Bali 

hotel-hotel pribumi bangkrut 

digencet oleh packaged tour.

Kebudayaan rakyat ternoda 

digencet standar dagang internasional.

Tari-tarian bukan lagi satu mantra, 

tetapi hanya sekedar tontonan hiburan. 

Pahatan dan ukiran  bukan lagi ungkapan jiwa, 

tetapi hanya sekedar kerajinan tangan.

Hidup dikuasai kehendak manusia, 

tanpa menyimak jalannya alam. 

Kekuasaan kemauan manusia, 

yang dilembagakan dengan kuat, 

tidak mengacuhkan naluri ginjal, 

hati, empedu, sungai, dan hutan. 

Di Bali : 

pantai, gunung, tempat tidur dan pura, 

telah dicemarkan


Oleh : 

W.S. Rendra

Saturday, June 28, 2014

Sajak Potret Keluarga


Tanggal lima belas tahun rembulan. 

Wajah molek bersolek di angkasa. 

Kemarau dingin jalan berdebu. 

Ular yang lewat dipagut naga. 

Burung tekukur terpisah dari sarangnya.

Kepada rekannya berkatalah suami itu :

“Semuanya akan beres. Pasti beres. 

Mengeluhkan keadaan tak ada gunanya. 

Kesukaran selalu ada. 

Itulah namanya kehidupan. 

Apa yang kita punya sudah lumayan. 

Asal keluarga sudah terjaga, 

rumah dan mobil juga ada, 

apa palgi yang diruwetkan ? 

Anak-anak dengan tertib aku sekolahkan. 

Yang putri di SLA, yang putra mahasiswa. 

Di rumah ada TV, anggrek, 

air conditioning, dan juga agama. 

Inilah kesejahteraan yang harus dibina. 

Kita mesti santai. 

Hanya orang edan sengaja mencari kesukaran. 

Memprotes keadaaan, tidak membawa perubahan. 

Salah-salah malah hilang jabatan.” 

………

Tanggal lima belas tahun rembulan 

Angin kemarau tergantung di blimbing berkembang. 

Malam disambut suara halus dalam rumputan. 

Anjing menjenguk keranjang sampah. 

Kucing berjalan di bubungan atap. 

Dan ketonggeng menunggu di bawah batu.

Isri itu duduk di muka kaca dan berkata :

“Hari-hari mengalir seperti sungai arak. 

Udara penuh asap candu. 

Tak ada yang jelas di dalam kehidupan. 

Peristiwa melayang-layang bagaikan bayangan. 

Tak ada yang bisa diambil pegangan. 

Suamiku asyik dengan mobilnya 

padahal hidupnya penuh utang. 

Semakin kaya semakin banyak pula utangnya. 

Uang sekolah anak-anak selalu lambat dibayar. 

Ya, Tuhan, apa yang terjadi pada anak-anakku. 

Apakah jaminan pendidikannya ? 

Ah, Suamiku ! 

Dahulu ketika remaja hidupnya sederhana, 

pikirannya jelas pula. 

Tetapi kini serba tidak kebenaran. 

Setiap barang membuatnya berengsek. 

Padahal harganya mahal semua. 

TV Selalu dibongkar. 

Gambar yang sudah jelas juga masih dibenar-benarkan. 

Akhirnya tertidur……. 

Sementara TV-nya membuat kegaduhan. 

Tak ada lagi yang bisa menghiburnya. 

Gampang marah soal mobil 

Gampang pula kambuh bludreknya 

Makanan dengan cermat dijaga 

malahan kena sakit gula. 

Akulah yang selalu kena luapan. 

Ia marah karena tak berdaya. 

Ia menyembunyikan kegagalam. 

Ia hanyut di dalam kemajuan zaman. 

Tidak gagah. Tidak berdaya melawannya !” 

…………………………………..

Tanggal lima belas tahun rembulan. 

Tujuh unggas tidur di pohon nangka 

Sedang di tanah ular mencari mangsa. 

Berdesir-desir bunyi kali dikejauhan. 

Di tebing yang landai tidurlah buaya. 

Di antara batu-batu dua ketam bersenggama.

Sang Putri yang di SLA, berkata :

“Kawinilah aku. Buat aku mengandung. 

Bawalah aku pergi. Jadikanlah aku babu. 

Aku membenci duniaku ini. 

Semuanya serba salah, setiap orang gampang marah. 

Ayah gampang marah lantaran mobil dan TV 

Ibu gampang marah lantaran tak berani marah kepada ayah. 

Suasana tegang di dalam rumah 

meskipun rapi perabotannya. 

Aku yakin keluargaku mencintaiku. 

Tetapi semuanya ini untuk apa ? 

Untuk apa hidup keluargaku ini ? 

Apakah ayah hidup untuk mobil dan TV ? 

Apakah ibu hidup karena tak punya pilihan ? 

Dan aku ? Apa jadinya aku nanti ? 

Tiga belas tahun aku belajar di sekolah. 

Tetapi belum juga mampu berdiri sendiri. 

Untuk apakah kehidupan kami ini ? 

Untuk makan ? Untuk baca komik ? 

Untuk apa ? 

Akhirnya mendorong untuk tidak berbuat apa-apa ! 

Kemacetan mencengkeram hidup kami. 

Kakasihku, temanilah aku merampok Bank. 

Pujaanku, suntikkan morpin ini ke urat darah di tetekku “ 

………………………………………

Tanggal lima belas tahun rembulan. 

Atap-atap rumah nampak jelas bentuknya 

di bawah cahaya bulan. 

Sumur yang sunyi menonjol di bawah dahan. 

Akar bambu bercahaya pospor. 

Kelelawar terbang menyambar-nyambar. 

Seekor kadal menangkap belalang.

Sang Putra, yang mahasiswa, menulis surat dimejanya :

“ Ayah dan ibu yang terhormat, 

aku pergi meninggalkan rumah ini. 

Cinta kasih cukup aku dapatkan. 

Tetapi aku menolak cara hidup ayah dan ibu. 

Ya, aku menolak untuk mendewakan harta. 

Aku menolak untuk mengejar kemewahan, 

tetapi kehilangan kesejahteraan. 

Bahkan kemewahan yang ayah punya 

tidak juga berarti kemakmuran. 

Ayah berkata : “santai, santai ! “ 

tetapi sebenarnya ayah hanyut 

dibawa arus jorok keadaan 

Ayah hanya punya kelas, 

tetapi tidak punya kehormatan. 

Kenapa ayah berhak mendapatkan kemewahan yang sekarang ayah miliki ini? 

Hasil dari bekerja ? Bekerja apa ? 

Apakah produksi dan jasa seorang birokrat yang korupsi ? 

Seorang petani lebih produktip daripada ayah. 

Seorang buruh lebih punya jasa yang nyata. 

Ayah hanya bisa membuat peraturan. 

Ayah hanya bisa tunduk pada atasan. 

Ayah hanya bisa mendukung peraturan yang memisahkan rakyat dari penguasa. 

Ayah tidak produktip melainkan destruktip. 

Namun toh ayah mendapat gaji besar ! 

Apakah ayah pernah memprotes ketidakadilan ? 

tidak pernah, bukan ?

Terlalu beresiko, bukan ? 

Apakah aku harus mencontoh ayah ? 

Sikap hidup ayah adalah pendidikan buruk bagi jiwaku. 

Ayah dan ibu, selamat tinggal. 

Daya hidupku menolak untuk tidak berdaya. “


Oleh : 

W.S. Rendra

Friday, June 27, 2014

Sajak Pertemuan Mahasiswa


Matahari terbit pagi ini 

mencium bau kencing orok di kaki langit, 

melihat kali coklat menjalar ke lautan, 

dan mendengar dengung lebah di dalam hutan.

Lalu kini ia dua penggalah tingginya. 

Dan ia menjadi saksi kita berkumpul di sini 

memeriksa keadaan.

Kita bertanya : 

Kenapa maksud baik tidak selalu berguna. 

Kenapa maksud baik dan maksud baik bisa berlaga. 

Orang berkata “ Kami ada maksud baik “ 

Dan kita bertanya : “ Maksud baik untuk siapa ?”

Ya ! Ada yang jaya, ada yang terhina 

Ada yang bersenjata, ada yang terluka. 

Ada yang duduk, ada yang diduduki. 

Ada yang berlimpah, ada yang terkuras. 

Dan kita di sini bertanya : 

“Maksud baik saudara untuk siapa ? 

Saudara berdiri di pihak yang mana ?”

Kenapa maksud baik dilakukan 

tetapi makin banyak petani yang kehilangan tanahnya. 

Tanah-tanah di gunung telah dimiliki orang-orang kota. 

Perkebunan yang luas 

hanya menguntungkan segolongan kecil saja. 

Alat-alat kemajuan yang diimpor 

tidak cocok untuk petani yang sempit tanahnya.

Tentu kita bertanya : 

“Lantas maksud baik saudara untuk siapa ?”

Sekarang matahari, semakin tinggi. 

Lalu akan bertahta juga di atas puncak kepala. 

Dan di dalam udara yang panas kita juga bertanya : 

Kita ini dididik untuk memihak yang mana ? 

Ilmu-ilmu yang diajarkan di sini 

akan menjadi alat pembebasan, 

ataukah alat penindasan ?

Sebentar lagi matahari akan tenggelam. 

Malam akan tiba. 

Cicak-cicak berbunyi di tembok. 

Dan rembulan akan berlayar. 

Tetapi pertanyaan kita tidak akan mereda. 

Akan hidup di dalam bermimpi. 

Akan tumbuh di kebon belakang.

Dan esok hari 

matahari akan terbit kembali. 

Sementara hari baru menjelma. 

Pertanyaan-pertanyaan kita menjadi hutan. 

Atau masuk ke sungai 

menjadi ombak di samodra.

Di bawah matahari ini kita bertanya : 

Ada yang menangis, ada yang mendera. 

Ada yang habis, ada yang mengikis. 

Dan maksud baik kita 

berdiri di pihak yang mana !


Oleh : 

W.S. Rendra

Thursday, June 26, 2014

Sajak Peperangan Abimanyu

(Untuk puteraku, Isaias Sadewa)


Ketika maut mencegatnya di delapan penjuru. 

Sang ksatria berdiri dengan mata bercahaya. 

Hatinya damai, 

di dalam dadanya yang bedah dan berdarah, 

karena ia telah lunas 

menjalani kewjiban dan kewajarannya.

Setelah ia wafat 

apakah petani-petani akan tetap menderita, 

dan para wanita kampung 

tetap membanjiri rumah pelacuran di kota ? 

Itulah pertanyaan untuk kita yang hidup. 

Tetapi bukan itu yang terlintas di kepalanya 

ketika ia tegak dengan tubuh yang penuh luka-luka. 

Saat itu ia mendengar 

nyanyian angin dan air yang turun dari gunung.

Perjuangan adalah satu pelaksanaan cita dan rasa. 

Perjuangan adalah pelunasan kesimpulan penghayatan. 

Di saat badan berlumur darah, 

jiwa duduk di atas teratai.

Ketika ibu-ibu meratap 

dan mengurap rambut mereka dengan debu, 

roh ksatria bersetubuh dengan cakrawala 

untuk menanam benih 

agar nanti terlahir para pembela rakyat tertindas 

– dari zaman ke zaman


Oleh :

W.S. Rendra

Wednesday, June 25, 2014

Sajak Orang Kepanasan


Karena kami makan akar

dan terigu menumpuk di gudangmu

Karena kami hidup berhimpitan

dan ruangmu berlebihan

maka kami bukan sekutu


Karena kami kucel

dan kamu gemerlapan

Karena kami sumpek

dan kamu mengunci pintu

maka kami mencurigaimu

Karena kami telantar dijalan

dan kamu memiliki semua keteduhan

Karena kami kebanjiran

dan kamu berpesta di kapal pesiar

maka kami tidak menyukaimu

Karena kami dibungkam

dan kamu nyerocos bicara

Karena kami diancam

dan kamu memaksakan kekuasaan

maka kami bilang : TIDAK kepadamu

Karena kami tidak boleh memilih

dan kamu bebas berencana

Karena kami semua bersandal

dan kamu bebas memakai senapan

Karena kami harus sopan

dan kamu punya penjara

maka TIDAK dan TIDAK kepadamu

Karena kami arus kali

dan kamu batu tanpa hati

maka air akan mengikis batu


Oleh :

W.S. Rendra


Tuesday, June 24, 2014

Sajak Mata - Mata


Ada suara bising di bawah tanah. 

Ada suara gaduh di atas tanah. 

Ada ucapan-ucapan kacau di antara rumah-rumah. 

Ada tangis tak menentu di tengah sawah. 

Dan, lho, ini di belakang saya 

ada tentara marah-marah.

Apaa saja yang terjadi ? Aku tak tahu.

Aku melihat kilatan-kilatan api berkobar. 

Aku melihat isyarat-isyarat. 

Semua tidak jelas maknanya. 

Raut wajah yang sengsara, tak bisa bicara, 

menggangu pemandanganku.

Apa saja yang terjadi ? Aku tak tahu.

Pendengaran dan penglihatan 

menyesakkan perasaan, 

membuat keresahan.

Ini terjadi karena apa-apa yang terjadi 

terjadi tanpa kutahu telah terjadi. 

Aku tak tahu. Kamu tak tahu. 

Tak ada yang tahu.

Betapa kita akan tahu, 

kalau koran-koran ditekan sensor, 

dan mimbar-mimbar yang bebas telah dikontrol. 

Koran-koran adalah penerusan mata kita. 

Kini sudah diganti mata yang resmi. 

Kita tidak lagi melihat kenyataan yang beragam. 

Kita hanya diberi gambaran model keadaan 

yang sudah dijahit oleh penjahit resmi.

Mata rakyat sudah dicabut. 

Rakyat meraba-raba di dalam kasak-kusuk. 

Mata pemerintah juga diancam bencana. 

Mata pemerintah memakai kacamata hitam. 

Terasing di belakang meja kekuasaan. 

Mata pemerintah yang sejati 

sudah diganti mata-mata.

Barisan mata-mata mahal biayanya. 

Banyak makannya. 

Sukar diaturnya. 

Sedangkan laporannya 

mirip pandangan mata kuda kereta 

yang dibatasi tudung mata.

Dalam pandangan yang kabur, 

semua orang marah-marah. 

Rakyat marah, pemerinta marah, 

semua marah lantaran tidak punya mata. 

Semua mata sudah disabotir. 

Mata yang bebas beredar hanyalah mata-mata.


Oleh : 

W.S. Rendra

Monday, June 23, 2014

Sajak Matahari


Matahari bangkit dari sanubariku. 

Menyentuh permukaan samodra raya. 

Matahari keluar dari mulutku, 

menjadi pelangi di cakrawala.

Wajahmu keluar dari jidatku, 

wahai kamu, wanita miskin ! 

kakimu terbenam di dalam lumpur. 

Kamu harapkan beras seperempat gantang, 

dan di tengah sawah tuan tanah menanammu !

Satu juta lelaki gundul 

keluar dari hutan belantara, 

tubuh mereka terbalut lumpur 

dan kepala mereka berkilatan 

memantulkan cahaya matahari. 

Mata mereka menyala 

tubuh mereka menjadi bara 

dan mereka membakar dunia.

Matahari adalah cakra jingga 

yang dilepas tangan Sang Krishna. 

Ia menjadi rahmat dan kutukanmu, 

ya, umat manusia !


Oleh : 

W.S. Rendra

Sunday, June 22, 2014

Perbedaan Sajak dan Puisi


Sajak dan Puisi
Dalam kesusastraan Indonesia dikenal dua istilah yang sering dicampuradukkan, yaitu sajak dan puisi. Istilah puisi berasal dari kata poezie (Belanda). Dalam bahasa Belanda dikenal pula istilah gedicht yang berarti sajak. Dalam bahasa Indonesia (Melayu) hanya dikenal istilah sajak yang berarti poezie maupun gedicht. Istilah puisi cenderung digunakan untuk berpasangan dengan istilah prosa, seperti istilah poetry dalam bahasa Inggris yang dianggap sebagai salah satu nama jenis sastra. Jadi, istilah puisi lebih bersifat general, jenisnya, sedangkan sajak bersifat khusus, individunya.

Sajak adalah puisi, tetapi puisi belum tentu sajak. Puisi mungkin saja terdapat dalam prosa seperti cerpen, novel, atau esai sehingga sering orang mengatakan bahwa kalimat-kalimatnya puitis (bersifat puisi). Puisi menjadi suatu pengungkapan secara implisit, samar, dengan makna yang tersirat, di mana kata-kata condong pada artinya yang konotatif, demikian menurut Putu Arya Tirtawirya . Sementara sajak, lebih luas lagi, tak sekadar hal yang tersirat, tetapi sudah menyangkut materi isi puisi, bahkan sampai ke efek yang ditimbulkan, seperti bunyi. Maka itu, sajak terkadang juga dimaknai sebagai bunyi.

Sajak
Apakah sajak itu? Tidak ada satu defenisipun yang mampu menjawabnya dengan sempurna, kecuali jawaban penyair Boris Pasternak dalam sajaknya yang berjudul batasan sajak
sajak adalah siul melengking suram
sajak adalah gemertak kerucut salju beku
sajak adalah daun-daun menges sepanjang malam
sajak adalah dua ekor burung malam menyanyikan duel
sajak adalah manis kacang kapri mencekik mati
sajak adalah air mata dunia diatas bahu
sebuah sajak pada hakekatnya mengundang kita berasosiasi. Tidak berinterpretasi, bertafsir-tafsir. Sekaitan dengan masalah inilah kiranya kesan keseluruhan tepat diterapkan suatu penilayan.

Puisi
Kita tentunya telah sering mendengar kata puisi, tetapi setiap kali diminta untuk menjelaskan pengertian puisi, seringkali menjumpai kesulitan karena begitu banyaknya ragam puisi sehingga rumusan pengertian tentang puisi, untuk salah satu bentuk puisi sesuai, bila diterapkan pada puisi yang lain tidak. Pada dasarnya perumusan pengertian puisi itu sendiri tidaklah penting karena yang penting adalah mampu memahami dan menikmati puisi yang ada.

Secara etimologi, istilah puisi berasal dari bahasa yunani “poeima” membuat atau “poesis” pembuatan, dan dalam bahasa inggris disebut ”poem” atau “poetry”. Puisi diartikan “membuat” dan “pembuatan” karena lewat puisi pada dasarnya seorang telah menciptakan suatu dunia tersendiri, yang mungkin berisi pesan atau gambaran suasana-suasana tertentu, baik fisik maupun batiniah.

Dengan mengutip pendapat Mc Caulay, Hudson mungungkapkan bahwa puisi adalah salah satu cabang sastra yang menggunakan kata-kata sebagai media penyampaian untuk membuahkan ilusi dan imajinasi, seperti halnya lukisan yang menggunakan baris dan warna dalam menggambarkan gagasan pelukisnya. Rumusan pengertian puisi diatas, sementara ini dapat kita terima karena kita seringkali diajak oleh suatu ilusi tentang keindahan, terbawa dalam suatu angan-angan, sejalan dengan keindahan penataan unsur bunyi, penciptaan gagasan, maupun suasana tertentu sewaktu membaca suatu puisi.

Saturday, June 21, 2014

Sajak Kenalan Lamamu


Kini kita saling berpandangan saudara. 

Ragu-ragu apa pula, 

kita memang pernah berjumpa. 

Sambil berdiri di ambang pintu kereta api, 

tergencet oleh penumpang berjubel, 

Dari Yogya ke Jakarta, 

aku melihat kamu tidur di kolong bangku,

dengan alas kertas koran, 

sambil memeluk satu anakmu, 

sementara istrimu meneteki bayinya, 

terbaring di sebelahmu. 

Pernah pula kita satu truk, 

duduk di atas kobis-kobis berbau sampah, 

sambil meremasi tetek tengkulak sayur, 

dan lalu sama-sama kaget, 

ketika truk tiba-tiba terhenti 

kerna distop oleh polisi, 

yang menarik pungutan tidak resmi. 

Ya, saudara, kita sudah sering berjumpa, 

kerna sama-sama anak jalan raya. 

……………………………

Hidup macam apa ini ! 

Orang-orang dipindah kesana ke mari. 

Bukan dari tujuan ke tujuan. 

Tapi dari keadaan ke keadaan yang tanpa perubahan. 

…………………….

Kini kita bersandingan, saudara. 

Kamu kenal bau bajuku. 

Jangan kamu ragu-ragu, 

kita memang pernah bertemu. 

Waktu itu hujan rinai. 

Aku menarik sehelai plastik dari tong sampah 

tepat pada waktu kamu juga menariknya. 

Kita saling berpandangan. 

Kamu menggendong anak kecil di punggungmu. 

Aku membuka mulut, 

hendak berkata sesuatu…… 

Tak sempat ! 

Lebih dulu tinjumu melayang ke daguku….. 

Dalam pandangan mata berkunang-kunang, 

aku melihat kamu 

membawa helaian plastik itu 

ke satu gubuk karton. 

Kamu lapiskan ke atap gubugmu, 

dan lalu kamu masuk dengan anakmu….. 

Sebungkus nasi yang dicuri, 

itulah santapan. 

Kolong kios buku di terminal 

itulah peraduan. 

Ya, saudara-saudara, kita sama-sama kenal ini, 

karena kita anak jadah bangsa yang mulia. 

………………….

Hidup macam apa hidup ini. 

Di taman yang gelap orang menjual badan, 

agar mulutnya tersumpal makan. 

Di hotel yang mewah istri guru menjual badan 

agar pantatnya diganjal sedan. 

…………….. 

Duabelas pasang payudara gemerlapan, 

bertatahkan intan permata di sekitar putingnya. 

Dan di bawah semuanya, 

celana dalam sutera warna kesumba. 

Ya, saudara, 

Kita sama-sama tertawa mengenang ini semua. 

Ragu-ragu apa pula 

kita memang pernah berjumpa. 

Kita telah menyaksikan, 

betapa para pembesar 

menjilati selangkang wanita, 

sambil kepalanya diguyur anggur. 

Ya, kita sama-sama germo, 

yang menjahitkan jas di Singapura 

mencat rambut di pangkuan bintang film, 

main golf, main mahyong, 

dan makan kepiting saus tiram di restoran terhormat. 

……….. 

Hidup dalam khayalan, 

hidup dalam kenyataan…… 

tak ada bedanya. 

Kerna khayalan dinyatakan, 

dan kenyataan dikhayalkan, 

di dalam peradaban fatamorgana. 

……….

Ayo, jangan lagi sangsi, 

kamu kenal suara batukku. 

Kamu lihat lagi gayaku meludah di trotoar. 

Ya, memang aku. Temanmu dulu. 

Kita telah sama-sama mencuri mobil ayahmu 

bergiliran meniduri gula-gulanya, 

dan mengintip ibumu main serong 

dengan ajudan ayahmu. 

Kita telah sama-sama beli morphin dari guru kita. 

Menenggak valium yang disediakan oleh dokter untuk ibumu, 

dan akhirnya menggeletak di emper tiko, 

di samping kere di Malioboro. 

Kita alami semua ini, 

kerna kita putra-putra dewa di dalam masyarakat kita. 

…..

Hidup melayang-layang. 

Selangit, 

melayang-layang. 

Kekuasaan mendukung kita serupa ganja….. 

meninggi…. Ke awan…… 

Peraturan dan hukuman, 

kitalah yang empunya. 

Kita tulis dengan keringat di ketiak, 

di atas sol sepatu kita. 

Kitalah gelandangan kaya, 

yang perlu meyakinkan diri 

dengan pembunuhan. 

……….. 

Saudara-saudara, kita sekarang berjabatan. 

Kini kita bertemu lagi. 

Ya, jangan kamu ragu-ragu, 

kita memang pernah bertemu. 

Bukankah tadi telah kamu kenal 

betapa derap langkahku ?

Kita dulu pernah menyetop lalu lintas, 

membakari mobil-mobil, 

melambaikan poster-poster, 

dan berderap maju, berdemonstrasi. 

Kita telah sama-sama merancang strategi 

di panti pijit dan restoran. 

Dengan arloji emas, 

secara teliti kita susun jadwal waktu. 

Bergadang, berunding di larut kelam, 

sambil mendekap hostess di kelab malam. 

Kerna begitulah gaya pemuda harapan bangsa.

Politik adalah cara merampok dunia. 

Politk adalah cara menggulingkan kekuasaan, 

untuk menikmati giliran berkuasa. 

Politik adalah tangga naiknya tingkat kehidupan. 

dari becak ke taksi, dari taksi ke sedan pribadi 

lalu ke mobil sport, lalu : helikopter ! 

Politik adalah festival dan pekan olah raga. 

Politik adalah wadah kegiatan kesenian. 

Dan bila ada orang banyak bacot, 

kita cap ia sok pahlawan. 

………………………..

Dimanakah kunang-kunag di malam hari ? 

Dimanakah trompah kayu di muka pintu ? 

Di hari-hari yang berat, 

aku cari kacamataku, 

dan tidak ketemu. 

………………

Ya, inilah aku ini ! 

Jangan lagi sangsi ! 

Inilah bau ketiakku. 

Inilah suara batukku. 

Kamu telah menjamahku, 

jangan lagi kamu ragau.

Kita telah sama-sama berdiri di sini, 

melihat bianglala berubah menjadi lidah-lidah api, 

gunung yang kelabu membara, 

kapal terbang pribadi di antara mega-mega meneteskan air mani 

di putar blue-film di dalamnya. 

…………………

Kekayaan melimpah. 

Kemiskinan melimpah. 

Darah melimpah. 

Ludah menyembur dan melimpah. 

Waktu melanda dan melimpah. 

Lalu muncullah banjir suara. 

Suara-suara di kolong meja. 

Suara-suara di dalam lacu. 

Suara-suara di dalam pici. 

Dan akhirnya 

dunia terbakar oleh tatawarna, 

Warna-warna nilon dan plastik. 

Warna-warna seribu warna. 

Tidak luntur semuanya. 

Ya, kita telah sama-sama menjadi saksi 

dari suatu kejadian, 

yang kita tidak tahu apa-apa, 

namun lahir dari perbuatan kita.


Oleh :  W.S. Rendra