Friday, October 31, 2014
Thursday, October 30, 2014
Jarak
Berapa jauh jarak terentang
antara engkau dengan aku
Berapa jauh jarak terentang
antara engkau dengan urat leherku?
Tak pun sepatah kata
memisahkan kita
Oleh :
Ajip Rosidi
Wednesday, October 29, 2014
Sembahyang Malam
Alam semesta
Hening menggenang
Air mata yang deras mengalir
bersumber pada kalbu-Mu
Oleh :
Ajip Rosidi
Tuesday, October 28, 2014
Ingat Aku Dalam Doamu
Ingat aku dalam do'amu: di depan makam Ibrahim
akan dikabulkan Yang Maha Rahim
Hidupku di dunia ini, di alam akhir nanti
lindungi dengan rahmat, limpahi dengan kurnia Gusti
Ingat aku dalam do'amu: di depan makam Ibrahim
di dalam solatmu, dalam sadarmu, dalam mimpimu
Setiap tarikan nafasku, pun waktu menghembuskannya
jadilah berkah, semata limpahan rido Illahi
Ya Robbi!
Biarkan kasih-Mu mengalir abadi
Ingat aku dalam do'a-Mu
Ingat aku dalam firman-Mu
Ingat aku dalam diam-Mu
Ingat aku
Ingat
Amin
Oleh :
Ajip Rosidi
Monday, October 27, 2014
Matahari
Kutembus mega yang putih, yang kelabu, yang hitam sekali
Di baliknya kucari yang terang : Sinar si matahari!
Oleh :
Ajip Rosidi
Sunday, October 26, 2014
Di Depan Lukisan Sadali
Dalam keindahan kutemukan keheningan
dan dalam keheningan kudapati kesalihan
Oleh :
Ajip Rosidi
Saturday, October 25, 2014
Sungai
Dari hulu hingga ke muara, berapa kali ganti nama?
Air yang mengalir sama juga, hanya saja bertukar warna
Oleh :
Ajip Rosidi
Friday, October 24, 2014
Wayang
Bayang-bayang yang digerakkan sang dalang
datang dan hilang, hanya jejaknya tinggal terkenang
Oleh :
Ajip Rosidi
Thursday, October 23, 2014
Kolam
Ikan-ikan berenangan dalam kolam yang bening-bening
Tak tepercik niat meloncat menerjang langit luas terbentang
Oleh :
Ajip Rosidi
Wednesday, October 22, 2014
Rute Cinta
padang rumput yang hijau menyapa setiap mentari bersinar,
buah kelapa besar tinggi menjulang di atas pohon, ingin ku
petik tapi tak sanggup jua, gemercik air tanda bahwa ku
sedang termangu, ku nantikan ombak yang datang menerpaku,
bagai angin berjalan, bagai rumput bergoyang, bagai topan
menerkam, bagai ombak menerjang, bagai dirimu yang selalu
menantiku
oleh :
Admin
Tuesday, October 21, 2014
Afrizal Malna
lahir di Jakarta, 7 Juni 1957. Sejak menamatkan SLA pada tahun 1976, Afrizal Malna tidak melanjutkan
sekolah. Pada tahun 1981, ia belajar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, sebagai
mahasiswa khusus hingga pertengahan dikeluarkan pada tahun 1983. Pada usia 27 tahun, Afrizal
Malna menikah. Selama kurang lebih sepuluh tahun ia pernah bekerja di perusahaan kontraktor
bangunan, ekspedisi muatan kapal laut, dan asuransi jiwa. Sekarang lebih banyak berkiprah di
bidang seni, sebagai sutradara pertunjukan seni, kurator seni instalasi, penyair dan penulis.
Bukunya antara lain: Abad Yang Berlari (1984), Perdebatan Sastra kontekstual (1986), Yang Berdiam
Dalam Mikropon (1990), Arsitektur Hujan (1995), Biography of Reading (1995), Kalung Dari Teman (1998),
Sesuatu Indonesia, Esei-esei dari pembaca yang tak bersih (2000), Seperti Sebuah Novel yang Malas
Mengisahkan Manusia, kumpulan prosa (2003), Dalam Rahim Ibuku Tak Ada Anjing (2003), Novel Yang
Malas Menceritakan Manusia (2004), Lubang dari Separuh Langit (2005). Penghargaan yang pernah
diterima: Kincir Perunggu untuk naskah monolog dari Radio Nederland Wereldomroep (1981),
Republika Award untuk esei dalam Senimania Republika, harian Republika (1994), Esei majalah
Sastra Horison (1997), Dewan Kesenian Jakarta (1984).
Berikut ini adalah beberapa puisi karyanya antara lain :
Asia Membaca, Buku Harian Dari Gurindam Duabelas, Gadis Kita, Migrasi Dari Kamar Mandi, Mitos
Mitos Kecemasan, Lembu Yang Berjalan, Masyarakat Rosa, Warisan Kita, Kebiasaan Kecil Makan
Coklat, Chanel OO, Jembatan Rempah-Rempah, Workshop 5:Tawanan Aku, Tubuh Lublinskie Di
Lorong Es Hitam, Teknik Menghibur Penonton, Mantel Hujan Dua Kota, Mesin Penghancur Dokumen,
Proposal Politik UntuK Polisi, Di Seberang Selembar Daun, Menggoda Tujuh Kupu-Kupu, Seminar
Puisi Di Selat Sunda, Antri Uang Di Bank, Daftar Indeks, Beri Aku Kekuasaan, Ekstase Waktu, Penyair
Anwar.
Biografi :
Sejak menamatkan SLA pada tahun 1976, Afrizal Malna tidak melanjutkan sekolah. Pada tahun 1981,
ia belajar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, sebagai mahasiswa khusus hingga pertengahan
dikeluarkan pada tahun 1983.
Selama kurang lebih sepuluh tahun ia pernah bekerja di perusahaan kontraktor bangunan, ekspedisi
muatan kapal laut, dan asuransi jiwa. Sekarang lebih banyak berkiprah di bidang seni, sebagai esais,
kurator seni rupa, penyair dan penulis.
Proses Kreatif :
Puisi, cerpen, dan esainya dimuat dalam Horison, Kompas, Berita Buana, Republika, Kedaulatan
Rakyat, Jawa Pos, Surabaya Post, Pikiran Rakyat, Ulumul Qur'an, dan lain-lain.
Tema puisi Afrizal Malna yang menonjol adalah pelukisan dunia modern dan kehidupan urban, serta
objek material dari lingkungan tersebut. Korespondensi objek-objek itulah yang menciptakan nuansa
dan gaya puitiknya.
Imaji-imaji dalam kehidupan sehari-hari , secara berdampingan ditampilkan (jukstaposisi) secara
gaduh, hiruk-pikuk, hampir-hampir chaotic, kacau balau, semrawut, tercermin dalam judul-judul
puisinya, seperti: “Antropologi Kaleng-Kaleng Coca Cola”, “ Fanta Merah untuk Dewa-Dewa”, “Migrasi
di Kamar Mandi”, “Pelajaran Bahasa Inggris Tentang Berat Badan”. Afrizal tertarik pada menemukan
hubungan antara objek dalam puisi-puisinya, mencari—dalam kata-katanya sendiri—suatu “visualisasi
tata bahasa atas benda-benda” (a “visual grammar of things”). Intimasi hubungan rahasia antar
objek-objek tersebut memberikan banyak informasi tentang puitika Afrizal.
Pada tahun 1981, sebuah naskah dramanya memperoleh penghargaan dalam sayembara Kincir Emas
Radio Nederland Wereldomreop.
Karya dramanya yang berjudul Pertumbuhan di atas Meja Makan, terpilih dalam antologi drama Indonesia
seratus tahun yang diterbitkan Yayasan Lontar, serta diterjemahkan dalam versi bahasa Inggris dengan
judul Things Growing on the Table. Karya drama Afrizal tersebut merupakan salah satu contoh yang
representatif untuk karya yang muncul pada era postmodernisme Indonesia. Karya ini menentang
penggunaan narasi keseragaman yang dibentuk oleh Orde Baru di Indonesia. Dalam karya dramanya
ini, Afrizal yang juga bertindak sebagai editor, membangun suatu "perpecahan" (disunity) dengan
memecah belah atau membuat potongan-potongan dialog dari berbagai sumber berlainan, misalnya
potongan pidato presiden Soekarno dan wakilnya Mohamad Hattadigabungkan dengan dialog dari
Caligula karya Albert Camus dan Sandyakala Ning Majapahit karya Sanusi Pane. Dengan demikian,
melalui karyanya yang demikian, ia menolak hubungan kausalitas dan struktur naratif, ketika tokoh
Suami dan Istri dalam drama ini mengucapkan kutipan potongan-potongan kalimat yang tidak
berhubungan tersebut, sekaligus memaksa audiens untuk membangun sebuah cerita bagi diri mereka
sendiri.
Afrizal menulis esai pengantar untuk buku kumpulan puisi beberapa penyair Indonesia, antara lain
Juniarso Ridwan, Soni Farid Maulana, Dorothea Rosa Herliany, Made Wianta, dan lain-lain). Esainya juga terbit
pada antologi bersama antara lain, Perdebatan Sastra Kontekstual (Ariel Heryanto ed., 1986)..
Sesuatu Indonesia: Esei-Esei dari Pembaca Tak Bersih adalah salah satu buku kumpulan esainya,
diterbitkan oleh Yayasan Bentang Budaya pada tahun 2000.
Esainya dalam Senimania Republika, Harian Republika, 1994 memenangkan Republika Award. Ia
juga menjadi pemenang esai di Majalah Sastra Horisonpada 1997.
Sejak 1983 hingga 1993 menulis teks pertunjukan Teater Sae. Afrizal pernah mengunjungi beberapa
kota di Swiss dan Hamburg, memberikan diskusi teater dan sastra di beberapa universitas dalam
rangka pertunjukan Teater Sae (Mei-Juni 1993) yang mementaskan naskahnya.
Tahun 1995 bersama Beeri Berhrard Batschelet dan Joseph Praba, mementaskan seni instalasi Hormat dan
Sampah di Solo. Pada tahun 1996berkolaborasi dengan berbagai seniman dari beragam disiplin
mengadakan pertunjukan seni instalasi ''Kesibukan Mengamati Batu-Batu'' di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Tahun 2003, mementaskan Telur Matahari berkolaborasi dengan Harries Pribadi Bah dan Jecko Kurniawan.
Beberapa buku prosa: cerita pendek atau novel, karya Afrizal Malna, antara lain: Dalam Rahim Ibuku
Tak Ada Anjing (2003), Seperti Sebuah Novel Yang Malas Menceritakan Manusia (IndonesiaTera, 2004),
Lubang dari Separuh Langit (2005).
Cerpennya pernah masuk dalam antologi cerpen pilihan Kompas, antara lain Pistol Perdamaian (1996), dan
Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan (1997).
Berkat prestasinya di bidang kepenulisan, Afrizal Malna beberapa kali diundang dalam festival dan
acara sastra nasional maupun internasional, seperti Festival Penyair International di Rotterdam, Belanda
(1995) dan Utan Kayu International Literary Biennale di Jakarta 2005.
Penghargaan :
·
Republika Award untuk esei dalam Senimania Republika, harian
Republika (1994),·
Esei majalah Sastra Horison (1997)·
Dewan Kesenian Jakarta (1984)·
1981: Radio Nedherland Wereldomroep untuk naskah drama Surat·
1987: Dewan Kesenian Jakarta untuk buku puisi Abad Yang Berlari·
1994: Republika Award dari harian Repulika untuk esei·
1996: Pusat Pembinaan dan Pengembahan Bahasa Departemen
Pendidikan dan Budaya untuk buku puisi Arsitektur Hujan·
1997: Majalah sastra Horison untuk esei·
2006: Penghargaan Adibudaya dari Departemen Pendidikan untuk
puisi·
2008: Man of The Year dari majalah Tempo untuk buku puisi
Teman-temanku Dari Atap Bahasa·
2010: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan dan Budaya untuk buku
puisi Teman-temanku Dari Atap Bahasa SEA Write Award dari Bangkok untuk buku
puisi Teman-temanku Dari Atap Bahasa (penghargaan tidak diambil)
Sumber
Monday, October 20, 2014
Asia Membaca
Matahari telah berlepasan dari dekor-dekornya. Tapi kami masih hadapi langit yang sama, tanah yang
sama. Asia. Setelah dewa-dewa pergi, jadi batu dalam pesawat-pesawat TV; setelah waktu-waktu
yang menghancurkan, dan cerita lama memanggili lagi dari negeri lain, setiap kata jadi berbau
bensin di situ. Dan kami terurai lagi lewat baju-baju lain. Asia. Kapal-kapal membuka pasar,
mengganti naga dan lembu dengan minyak bumi. Membawa kami ke depan telpon berdering.
Di situ kami meranggas, dalam taruhan berbagai kekuatan.Mengantar pembisuan jadi jalan-jalan di
malam hari. Asia. Lalu kami masuki dekor-dekor baru, bendera-bendera baru, cinta yang lain lagi,
mendapatkan hari yang melebihi waktu: Membaca yang tak boleh dibaca, menulis yang tak boleh
ditulis.
Tanah berkaca-kaca di situ, mencium bau manusia, menyimpan kami dari segala jaman. Asia. Kami
pahami lagi debur laut, tempat para leluhur mengirim burung-burung, mencipta kata. Asia hanya
ditemui, seperti malam-malam mencari segumpal tanah yang hilang: Tempat bahasa dilahirkan.
Asia.
1985
Oleh :
Afrizal Malna
Sunday, October 19, 2014
Buku Harian Dari Gurindam Duabelas
Kau telah ambil lenganku dari sungai Siak, sebelum Raja Ali Haji berkata: Bismillah permulaan
kalam.” Dan kapal-kapal bergerak membawa Islam, membawa para nabi, sutra, barang-barang
elektronik juga. Tetapi seseorang mencarimu hingga Piz Gloria, kubah-kubah putih yang mengirimku
hingga Senggigi. 150 tahun kematian Friedrich Holderlin, jadi penyair lagi di situ, hanya untuk
menjaga cinta. Gerimis membawa kota-kota lain lagi, tanaman palma dan kenangan di jendela: Siti
berlari-lari, menyapu halaman jadi buah mangga, apel, dan kecapi juga.
Kini dia bukan lagi kisah batu-batu, pelarian tempo dulu, atau seorang biu mengajar menyapu. Kini
setiap tubhnya membaca Gurindam Duabelas, mengirim buku harian, untuk masa silam seluruh
unggas. Kita saling mencari, di antara pikiran yang dicurigai, lebih dari letusan, menumbangkan
sebuah bahasa di malam hari. “Puan-puan dan Tuan-tuan,” kata Siti,”aku melayu dari Pejanggi.” ...
Dan sungai Siak jadi sepi, jadi lebih dalam lagi dari Gurindam Duabelas.
Lenganmu, membuat bahasa lain lagi di situ; untuk orang-orang di pelabuhan, menjual beras,
sayuran, radio, ikan-ikan juga. Dan aku berlari-lari. Ada rumah di situ, setelah jalan berkelok.Ini
untukmu, bahasa dari letusan itu, penuh suaramu melulu.
1993
Oleh :
Afrizal Malna
Saturday, October 18, 2014
Gadis Kita
O gadisku ke mana gadisku. Kau telah pergi ke kota lipstik gadisku. Kau pergi ke kota parfum gadisku.
Aku silau tubuhmu kemilau neon gadisku. Tubuhmu keramaian pasar gadisku. Ja- ngan buat pantai
sepanjang bibirmu merah gadisku. Nanti engkau dibawa laut, nanti engkau dibawa sabun. Jangan
tempel tanda-tanda jalan pada lalulintas dadamu gadisku. Nanti polisi marah. Nanti polisi marah.
Nanti kucing menggigit kuning pita rambutmu. Jangan mau tubuhmu adalah plastik warna-warni
gadisku. Tubuhmu madu, tubuhmu candu. Nanti kita semua tidak punya tuhan, nanti kita semua
dibawa hantu gadisku. Kita semua cinta padamu. Kita semua cinta padamu. Jangan terbang terlalu
jauh ke pita-pita rambutmu gadisku, ke renda-renda bajumu, ke nyaring bunyi sepatumu. Nanti ibu
kita mati. Nanti ibu kita mati. Nanti ibu kita mati.
1985
Oleh
Afrizal Malna
Thursday, October 16, 2014
Migrasi Dari Kamar Mandi
Kita lihat Sartre malam itu, lewat Pintu Tertutup: menawarkan manusia mati dalam sejarah orang lain.
Tetapi wajah-wajah Dunia Ketiga yang memerankannya, masih merasa heran dengan ke- matian
dalam pikiran: “Neraka adalah orang-orang lain.” Tak ada yang memberi tahu di situ, bagaimana
masa lalu berjalan, memposisikan mereka di sudut sana. Lalu aku kutip butir-butir kacang dari atas
pangkuanmu: Mereka telah melebihi diriku sendiri.
Wajahmu penuh cerita malam itu, menyempatkan aku mengingat juga: sebuah revolusi setelah hari
hari kemerdekaan, di Peka- longan, Tegal, Brebes; yang mengubah tatanan lama dari tebu, udang
dan batik. Kita minum orange juice tanpa masa lalu di situ, di bawah tatapan Sartre yang menurunkan
kapak, rantai penyiksa, alat-alat pembakar bahasa. Tetapi mikropon meraihku, mengumumkan
migrasi berbahaya, dari kamar mandi ke jalan-jalan tak terduga.
Di Ciledug, Sidoarjo, Denpasar, orang-orang berbenah meninggallkan dirinya sendiri. Migrasi telah
kehilangan waktu, kekasihku. Dan aku sibuk mencari lenganmu di situ, dari rotasi-rotasi yang hilang,
dari sebuah puisi, yang mengirim kamar mandi ke dalam sejarah orang lain.
1993
Oleh :
Afrizal Malna
Dual Way Backpack
Dual Way Backpack: Dual Way Backpack With Lock Detail by Something Borrowed. Multifunction bag that you can use in two way, complete your edgy look with this edgy bag. With one main compartment, inner pocket and gadget sleeve, handle drop 30 cm, shoulder strap 52 cm. With white white color and black, this bag look so clean and look so minimalist.
Find this cool stuff here: http://zocko.it/LE56A
Find this cool stuff here: http://zocko.it/LE56A
Wednesday, October 15, 2014
Mitos-Mitos Kecemasan
Kota kami dijaga mitos-mitos kecemasan. Senjata jadi kenangan tersendiri di hati kami, yang akan
kembali membuat cerita, saat- saat kami kesepian. Kami telah belajar membaca dan menulis di situ.
Tetapi kami sering mengalami kebutaan, saat merambahi hari-hari gelap gulita. Lalu kami berdoa,
seluruh kerbau bergoyang menggetarkan tanah ini. burung-burung beterbangan memburu langit,
mengarak gunung-gunung keliling kota.
Negeri kami menunggu hotel-hotel bergerak membelah waktu, mengucap diri dengan bahasa asing.
O, impian yang sedang membagi diri dengan daerah-daerah tak dikenal, siapakah pengusaha besar
yang memborong tanah ini. Kami ingin tahu di mana anak-anak kami dilebur jadi bensin. Jalan-jalan
bergetar, membuat kota-kota baru sepanjang hari.
Radio menyampaikan suara-suara ganjil di situ, dari kecemasan menggenang, seperti tak ada, yang
bisa disapa lagi esok pagi.
1985
Oleh :
Afrizal Malna
Tuesday, October 14, 2014
Lembu Yang Berjalan
Aku bersalaman. Burung berita telah terbang memeluk sayapnya sendiri. Kota telah pergi jauh sampai
ke senja. Aku bersalaman. Matahari yang bukan lagi pusat, waktu yang bukan lagi hitungan. Angin
telah pergi, tidak lagi ucapkan kotamu, tak lagi ucapkan namamu. Aku bersalaman. Mengecup
pesawat TV sendiri... tak ada lagi, berita manusia.
1984
Oleh :
Afrizal Malna
Subscribe to:
Posts (Atom)