Monday, August 31, 2015
Perjalanan Pelaut
karena laut mengajarkan rahasia badai
aku pun setia berlayar. dari pulau asing
ke pulau asing aku tebarkan benih pelaut
dan lalu meninggalkan ratusan rumah
yang memendam kesepian
rumah hanya istirah bagi kejenuhan kapal. oh,
laut yang terapit oleh pulau-pulau
di mana tubuhku sesekali dibaringkan?
dari pulau asing ke pulau asing
aku pahami rahasia badai, aku tebarkan
benih pelaut. sementara pada kedalaman laut
kubur mengajarkan rahasia paling akhir
Oleh :
Isbedy Stiawan ZS
Sajak ke 27
(Ulang tahun Adibah Jalili)
siapakah yang membangunkan tidurmu? ini hari genaplah
engkau menjaga arloji dari kepecahan dan
mempertahankan siklus bulan bintang serta matahari
dari gerhana atau cerita yang amat purba itu…
siapakah yang menyapa lenamu? kuyakini ini hari
engkau masih tetap menghembuskan balon sepenuh hati
menjauhi pohon mawar yang berduri itu…
: Dekaplah waktu! Ciumlah Aku!
Oleh :
Isbedy Stiawan ZS
Friday, August 28, 2015
Aku Baca Lembaran-Lembaran Koran
(Satu Amsal)
aku baca lembaran-lembaran koran. dan pada setiap kolom
kusimak dunia yang terluka oleh bibirmu! bahkan hingga
ke halaman sebelah ada pisaumu bermandi
darah terkapar atau cinta yang diujudkan pada iklanmu
sia-sia membaca rahasia duniamu. dan pada setiap
kolom aku mengukur luas kubur atau kaveling penawaran
atau bahasa sanjungmu. lantas bibirmu, lisptickmu yang
merah merayuku untuk merobek!
kecuali dendam, ya Allah
aku melihat tubuhku tersayat di setiap
lembaran-lembaran koran. tak bergerak,
aku membacanya. aku menyimaknya
aku membaca lautan darah. aku membaca musim-musim
kemarau yang membantai taman bunga. pada setiap kolom
dan halaman anyir bibirmu menusuk nuraniku. tapi
karena bibirmu pula aku kasmaran dan patah hati
Oleh :
Isbedy Stiawan ZS
Thursday, August 27, 2015
Laut Membawa Jasadku
laut membawa jasadku
ke malam-malam pekat. ke makam-makam sunyi
ditanamkan, menyimpan riuh jam
tanah pun basah, melumpurkan langkah
yang berhenti pada gerbang-Mu
kau pun tersedu. hujan turun
mengabarkan ketajaman pisau padaku, dan
laut tak henti membawa jasadku
ke makam-makam sunyi-Mu untuk ditanamkan!
o aku sendiri dalam kematian ini
di semesta sempurna ketiadaanku
Oleh :
Isbedy Stiawan ZS
Pada Ketinggian Matahari
pada ketinggian matahari
rumput-rumput berkeringat. tangannya
menggapaimu gelisah. hari yang penuh
pembantaian merebahkan nyalinya
hanya jerit. hanya jerit yang menggema
di padang-padang kerontang itu
kemudian senyap
kemudian senyap
sungai pun menerbangkan batu-batu
Oleh :
Isbedy Stiawan ZS
Tuesday, August 25, 2015
Aku Hanya Kerak Di Liang Bumimu
Aku hanya kerak di liang bumimu
menunggu sampai musim bertukar.
Tubuhku hitam terpanggang, menahan
derita sepanjang kehendakmu
Di liang bumimu aku menjadi kerak
terlempar dari segala cuaca
sampai musim esok datang
sampai waktumu tak lagi kudengar dentingnya
Dan kota-kota makin jauh dariku
Aku tenggelam dan menghuni di dasar yang sunyi
sementara matahari tak terbit dari bola matamu
Oleh :
Isbedy Stiawan ZS
Surat
seribu surat ditulis seribu kota
dirapatkan, tapi tak lunas juga
rinduku padamu
pranko demi pranko direkatkan, dan
pada muka sampul alamatmu kutulis
tapi tuturku terasa kelu bagimu
tak hanya surat. kabar yang sia-sia
di perjalanan; lalu mimpi bermuka-muka.
oh aku menggali keasingan kotaku, aku menggali
kesunyian kotamu bersama ribuan surat
yang kutulis dan kukirim!
Oleh :
Isbedy Stiawan ZS
Membaca Bahasa Sunyi
Seperti kayu aku ikhlas dibakar
dari waktu ke waktu. tubuhku hitam
menjadi arang. Lebur dalam bara dan abu
di dasar tungku kehidupan-Mu
Aku membaca bahasa sunyi
Dari waktu ke waktu kuhikmati bara dan abu
Pada setiap sujud kusebut ketiadaan
melengkapkan arti gerimis yang gugur
di taman-taman atas nama kedamaian
Aku membaca bahasa sunyi
sehabis bara menggenapkan tubuhku
menjadi arang. Di dasar tungku kehidupan-Mu
aku lebur dalam zikir panjang
mengaji rahasia tangan-Mu
Seperti kayu
aku pun ikhlas dibakar. Lebur dalam bara
dan abu. Di dasar tungku kehidupan-Mu
aku terus-terusan sujud menciumi tanah
O telah kubaca bahasa sunyi
di tengah-tengah pikuk bumi yang tidak
pernah menawarkan istirahat atau kedamaian
Begitu bara membakar hingga aku lebur
ke dalam sujud dan zikir
ke dalam sujud dan zikir
Oleh :
Isbedy Stiawan ZS
Telah Kujalani Kekerasan Batu
Telah kujalani kekerasan batu. dalam diam
kusimpan gemuruh air. lalu keheningan pun
bagian dari napasku
Aku kini menanggung beban matahari. dalam keras tanah
kuterjemahkan detak lumut dan arus air pun kuterjemahkan
menjadi buih bagi semangat zikirku
telah kujalani kekerasan batu. dalam zikir
kunyanyikan gemuruh air!
Oleh :
Isbedy Stiawan ZS
Aku Lebih Dulu Menulis Nama-Nama
Aku lebih dulu menulis nama-nama di bumi ini
sebelum telapakmu kemudian kukenal menciptakan
jalan lain menuju stasiunku. Lihatlah nama-nama
semesta ada dalam jari-jariku begitu kupanggil
satu persatu. juga pada pasir laut rahasia
ciptaanku terpatri,
mengekalkan langkah dan namaku. Tapi kau masih
juga menentang, menghanguskan nama-nama di bumi
dengan api yang kau ambil dari bukit yang jauh itu
Dan ketika telapakmu kukenal kemudian serta menulis
nama-nama di sepanjang perjalanan, alam bagai kehilangan
mataku. Kegelapan pun merestui dan bumi makin
payah menapaki surga. Melenyap dari kerling
tanpa kutahu di tahun kapan dapat bebas
dari kehadiranmu
Oleh :
Isbedy Stiawan ZS
Thursday, August 20, 2015
Pernahkah
pernahkah kau rasakan; tiba-tiba punggung kita
terluka, tapi tak kenal pisau siapa? lalu darah
tak pula menandai dan detik-detik melangkah
seperti biasa
pernahkah kau rasakan; ketika tiba-tiba punggungmu
tertusuk, tapi kau hanya melihat bayang-bayang pisau
yang menyelinap dalam kelam? sedang aku hanya
memandangmu tanpa kata
aku pernah merasakan; ketika punggungku terluka, tapi
tak mampu membaca makna pada runcing pisaumu
yang mandi darahku!
Oleh :
Isbedy Stiawan ZS
Ciuman Penghabisan
saat ciuman penghabisan kuterima
pada sujud yang panjang, tiba-tiba getar
lembutmu menggoyangkan langit. Aku baca namaku
di sana bersama orang-orang yang kau restui
terus aku mengatas, mendaki puncak segala
puncak
tangga mana yang kutuju? aku telah sampai
pada ciuman penghabisan. di dalam sujud yang
panjang kusetubuhi keabadian. pada puncakmu
aku pun makin lupa dengan gaduh bumi
yang cuma menawarkan nama-nama
saat ciuman penghabisan kuterima
tiba-tiba panggilan lembutmu membuka
jalan satu-satunya untuk kutempuh. aku baca
diriku di sana menari bersama orang-orang
yang kau rindu
Oleh :
Isbedy Stiawan ZS
Tuesday, August 18, 2015
Seperti Semut
seperti semut yang mendaki perbukitan
betapa jauh dan melelahkan perjalanan ini
tapi dengan dada yang menyala dan senantiasa
menyimpan bahasa-Nya
berangkat juga hewan ini ke kandang
menghitung-hitung perbukitan yang didaki
rasanya baru kemarin kita dilahirkan
seperti semut yang mendaki perbukitan
berangkat juga aku ke sana
membawa rerumputan
menghadap lurus arah matahari
Oleh :
Isbedy Stiawan ZS
Interior Pantai
rinduku seperti rindu laut pada pantai. tak ada
waktuku untuk melupakanmu, karena aku akan terus
datang dan menyapamu. meski kemudian aku harus menjauh
ke samudera luas,
membaca desah angin dan riak gelombang
rinduku padamu seperti rindu laut pada pantai. siapa
mampu mencegahku untuk sampai padamu melepas
rindu? seperti laut melepas rindunya di pantai,
aku pun mengurai benang-benang rinduku di maha pantaimu
laut yang liar dan ganas pun tunduk
di pangkuan pantai!
Oleh :
Isbedy Stiawan ZS
Sunday, August 16, 2015
Dunia Botol
menghadapi dunia botol yang disuarakan radio
laut dalam diriku seakan berbusa. perahu mana
yang dapat kuyakini untuk menyeberangkanku
ke pulau itu? sedang angin tak menentu
hatiku tiba-tiba tak percaya pada laut
dan pulau menjadi samar di mataku. tapi aku
tak pernah henti mengunyah botol, karena
radio selalu mengantarkannya ke mejaku
sebenarnya aku sudah mati di meja ini
berkali-kali. tapi dalam
dunia botol yang dikirimkan radio
kuburku belum juga diazankan!
Oleh :
Isbedy Stiawan ZS
Saturday, August 15, 2015
Ada Daun Gugur
ada daun gugur
dekat pintu rumahku
dan warna kuningnya
mengabarkan dunia yang pecah
lewat tanah-tanah
hatiku gemetar
memandang namaku
yang mencari-cari rumah
akhirku
ada daun gugur
dekat jendela kamarku
dan warna terbakarnya
memandangku dingin
Oleh :
Isbedy Stiawan ZS
Friday, August 14, 2015
Ingin Kusuarakan
ingin kusuarakan apa saja di sini, tapi angin punya
telinga dan kata-kata. bahkan lampu-lampu taman ini
akan merekam dan menyuarakan kembali dengan bahasa
lain. lalu dinding memagar tubuhku,
kesepian yang mendekam!
ingin kumerdekakan apa saja di sini, tapi burung
tak punya lagi sarang yang tenteram. pohon-pohon telah
memburu kota demi kota, mengubah ketenteraman jadi
kegaduhan, dan asap yang dimuntahkan beribu
cerobong pabrik adalah oksigenku setiap detik. aku
merokok limbah serta mengunyah beton!
ingin kutulis apa saja di sini, tapi koran tak lagi
punya suara. seribu iklan memadati halaman
demi halamannya, seperti gula-gula yang dikunyah
anak-anakku. aku hanya membaca bahasa angin di sana
kemudian meliuk di balik bendera setengah tiang.
kemudian hening…
ingin kusuarakan kembali kemerdekaan di sini, tanpa
granat dan senapan. ingin kuteriakkan penderitaan
burung yang kehilangan kebebasan terbang. hingga
di udara yang terbuka tak akan ada lagi kecemasan-kecemasan
Oleh :
Isbedy Stiawan ZS
Thursday, August 13, 2015
Bebatuan Itu Merintih
lalu bebatuan itu merintih. sejak kemarin matahari
memukul-mukulkan wajahnya di bebatuan. di sungai
yang mengalirkan darahnya
kubaca keperihan dunia: aku tak tahu di mana
lagi kusimpan kesumat ini?
begitu jauh aku terdampar. di pulau yang tak lagi mengenalku
bahkan aku makin asing pada pesta kematianku yang bakal tiba
ingin kumasuk lebih dalam untuk mengaduk-aduk udara
yang beku! Tuhan, di dunia-Mu yang semarak ini kenapa
aku seperti tak mencium aroma manusia?
lalu bebatuan itu merintih. matahari memandang
garang di ujung jalan yang akan memisahkan dunia ini
dengan lain dunia. aku tak lagi paham dengan suara
merdu dan rintihmu. ketika ranjangku bertengkar
dengan maut di malam sunyi itu
inilah perjalanan panjang bagi bebatuan. setelah hari-hari
ditikam sejuta pisau waktu. tak ada lagi sesal dan harapan
udara telah membawa senyum dan tangis pelayat
ke dalam doa yang beterbangan
lalu bebatuan itu merintih. tak ada lagi senyum
yang dinyanyikan sungai, kecuali taman
menjelma tiba-tiba
Oleh :
Isbedy Stiawan ZS
Subscribe to:
Posts (Atom)