Thursday, April 30, 2015
Tuesday, April 28, 2015
Tembang Di Atas Perahu
seperti di atas perahu kecil sendirian
aku terombang ambing ombak kecil dalam tubuhku
jika aku terlelap, ku mimpikan pangeran dengan jubah berderai
dan rambut mengurai beribu kalimat dengusnya yang dusta.
kulihat pancuran dari pedangnya yang panjang dan gagah.
kutiup terompet gairahku dalam tetembangan dari tanah jauh.
alangkah ngelangut. alangkah deras rindu tanpa alamat.
alangkah sunyi dan palsu impian.
seperti di atas perahu kecil sendirian
aku terjaga. tak teratur napasku. mencari beribu nama
dan alamat. dalam berjuta situs dan bermiliar virus. berbaris
cerita cabul pesan pesan asmara yang memualkan.
aku sendirian, seperti lukisan perempuan di depan jendela
: memandang laut biru di batas langit. sambil membendung
badai dan ombak yang mengikis karang karang.
Oleh :
Dorothea Rosa Herliany
Monday, April 27, 2015
Telegram Gelap Persetubuhan
kukirim telegram cinta, untuk sesuatu yang deras, mengalir ke ubun,
yang ganjil, yang kucari dalam ledakan ledakan. yang kutemukan
dalam kekecewaan demi kekecewaan.
kukirim beratus teriakan kecil dalam gelombang tak berpintu.
membentur bentur dinding dan kesangsian. kuberikan berdesimal
ciuman bimbang. sampai hangat membakar dari mata terpejamku.
kukirim sebaris telegram cinta: lewat lelehan keringat dan
dengus nafas liarku. yang menyisakan sebaris kalimat bisu
dalam gelembung racun kebencian.
dan setelah itu kutulis cerita cabul yang memualkan,
tentang seekor kelinci lemah berbaju gumpalan daging
dalam sederet langkah "the man with the golden gun."
kukirim ke alamat persetubuhan paling dungu.
mengapa kau kutuk kesenangan kecil ini. sambil kau sembunyikan
lolongan anjing dan ringkik kuda sembrani dalam berhalaman kitab
atau berbaris grafiti di dinding luar menara.
diamlah dalam kelangkangku, lelaki.
sebelum kau kutuk sebagian fragmen dalam cermin bekumu,
sebelum aku menjadi pemburu sejati: untuk membidikkan panah
yang kurendam racun beratus ular berbisa.
dan kibas jariku melemparkan bangkaimu
ke lubuk senyum nikmatku paling dungu.
Oleh :
Dorothea Rosa Herliany
Thursday, April 23, 2015
Tidur Berdiri Di Sebuah Plaza
bunga yang kutanam dalam tidurku, tumbuh
dalam pot pot yang tak jadi kulukis, daun daunan
mengembang. halaman semak semak telah berubah
taman. rumahku dalam etalase.
berpasang mata mengancamku! kemudian seseorang
mengguyurkan hujan dari sebotol vodka. mabukmu
mendidih. mengucapkan kata kata sampah, dan
berubah peradaban!
Oleh :
Dorothea Rosa Herliany
Wednesday, April 22, 2015
Stasiun Tak Bernama
akhirnya kita akan bertemu di garis yang sama.
di lengkung langit hitam dan bukitan berkabut.
di tanah tanah bergelombang, dan gurun yang
berhutankan epitaf epitaf. engkau ukur
seberapa jauh yang sudah kita tempuh dengan doa
dan dosa, seperti keledai yang kecapaian, merangkak
dalam dengus dan mata terkatup katup.
tubuh yang payah ini meneteskan keringat dan darah.
membasuh wajah letihmu. seperti matahari, mengucak
cahayanya dari mega yang usil!
kesabaran kita membeku di pintu peron. Rel rel
memanjang dan dingin. seperti itulah waktu yang
mengurungmu dalam lantunan lagu lagu sumbang.
tembang perkutut dan desis ula rular melata di hatimu.
mengelupas sisik sisik dan bisa yang mengerak
di dinding dinding hati. waktu dan ruang yang
berdesakan dalam menunggu. Baris baris gerimis
di kaca dan suram cahaya menembus kesunyian
yang kita dekap.
di atas rel yang hitam itu keranda keranda diusung
ke rumah rumah yang tak kita tuju. kubayangkan para
gembala menggiring domba domba hitam,
pulang senja.
mereka mengurai syair syair kesedihan dan lagu lagu
kehilangan. pulang, entah ke mana.
dan di sini kita mengukur waktu, sebelum
lokomotif itu menyeretmu. Gerbong gerbong
berderit dalam ngilu. lalu
mendadak kita tergagap: tiba tiba menemu jalan buntu.
kita sampai pada dinding waktu
yang tak bosan menunggu.
Oleh :
Dorothea Rosa Herliany
Tuesday, April 21, 2015
Requiem Bagi Kepompong Yang Tak Sempat Bisa Terbang
di sinikah tepi bagimu, ketika segalanya berubah
abu. tinggal asap. kau tak mampu menyingkapkan tirai
tipis itu. debur laut makin jauh. melongokmu.
di sinikah tepi bagimu?
mulut mulut masih bercerita: apa arti kenangan bagi
benang yang tak rampung kau pintal? semua
menyisipkan bunga bunga pada kata katanya. masih
kebohongan dan kepalsuan yang melepaskanmu.
di sinikah tepi bagimu, laut tak memberikan garam.
tapi matahari menyebarkan asing siang yang terik.
keringat keringat pertentangan. Tendang menendang
kehidupan yang disyahkan. sebuah kota sebelum ajal.
di sinikah tepi bagimu?
sebuah stasiun bisu. Gerbong gerbong jadi keranda.
bergerit dalam ngilu. kehitaman lokomotif dan dengus
: batuk dalam darah di dadamu! kehidupan inikah
tepi bagimu.
tilgram tak terbaca di mejaku. Kado kado
belasungkawa tak pernah dikirimkan. duka sudah
habis. juga pada toko toko swalayan. tinggal harapan
pada pantat lalat yang terpeleset kilau keangkuhan lelaki
di belakang loket.
menontonlah kita di kejauhan!
Oleh :
Dorothea Rosa Herliany
Monday, April 20, 2015
Pledoi Ulat
mungkin mesti begini, ulat ulat itu membangun
kepompongnya. Melipat lipat daun: percaya tak akan
direbahkan ke bumi, sebelum segala mimpi usai.
kau sendiri kadang tertawa tawa. hidup yang
terlampau sederhana. seperti ulat ulat itu
: melipat lipat kitab, mencari cari tuhan
di antara suara dan cahaya!
tapi ulat ulat itu, abadi dalam kesederhanaan liur
yang merenda. bertapa dalam kesunyian cahaya.
menuliskan perjalanan tak teraba!
Oleh :
Dorothea Rosa Herliany
Sunday, April 19, 2015
Pengantin Yang Terbaring
Kau baringkan diriku di atas tanah. betapa
fana gairah yang meletupkan kebencian. dan
aku mabuk bercumbu dengan pikiran sendiri.
seperti inikah kenikmatan senggama?
kita tebar ribuan benih yang menjamurkan
kebencian dan kecewa. gemeretak bunyi tulang
yang membajak tanah kering dan batu bebukitan.
kecipak air dalam sungai tanpa arus. tak
ke mana mana.
seperti inikah? kaubaringkan diriku di atas
tanah. dan nafasku menyebarkan aroma yang
dihirup para serangga. dan mengembunkan uap
yang menyejuki cacing cacing tanah dan ulat ulat.
Oleh :
Dorothea Rosa Herliany
Saturday, April 18, 2015
Para Pengembara
kutempuh perjalanan dalam lagu lagu dan
notasi-notasi bungkam: dalam kegagapan. setelah
lelah kita berdesak desakan. Berderet deret menunggu
di depan loket. begitu setia menunggu.
kau tak henti mengurai senandung kecemasan. dalam
gerit pintu yang tak terkunci. sampai jam dan
dinding dinding mengetukkan panggilan. kita masih
menghitung beban dan panjang igauan.
Oleh :
Dorothea Rosa Herliany
Nyanyian Anak Anak Bermain
dari sumur yang sama kutimba darah dan
keringat semua orang. kusaring kebekuan, lalu
kutiup: menjadi bulan.
cahaya menyelinap antara rindang peradaban.
masihkah kau butuh bayang bayang?
kuikat purnama dengan lidahku, setelah letih
memeras darah dan keringat sendiri. kukembalikan
bagi langit suwung.
tiba tiba mendung. bulan kehilangan bayang.
kupanggil anak anak. biar menadah air mata
sendiri.
Oleh :
Dorothea Rosa Herliany
Friday, April 17, 2015
Nikah Sungai
Engkau bawakan aku bunga-bunga. di sini pasir,
semak dan lumut melulu. kadang bauan busuk
dan bahkan bangkai bangkai. kepiting tak
menyisih menyambutku.
di mana ruang yang kausediakan buatku?
buat percintaan maha dahsyat. buat pertempuran
tak usai usai. nafsu yang senantiasa membuahkan
kebencian dan bencana.
aku rebah di tanah basah. mengandung
racun dan beranak peradaban kering nurani.
Oleh :
Dorothea Rosa Herliany
Thursday, April 16, 2015
Nikah Pisau
aku sampai entah di mana. Berputar putar
dalam labirin. perjalanan terpanjang
tanpa peta. dan inilah warna gelap paling
sempurna. kuraba gang di antara sungai
dan jurang.
ada jerit, serupa nyanyi. mungkin dari
mulutku sendiri. kudengar erangan, serupa
senandung, mungkin dari mulutku sendiri.
tapi inilah daratan dengan keasingan paling
sempurna: tubuhmu yang bertaburan ulat ulat,
kuabaikan. sampai kurampungkan kenikmatan
sanggama. sebelum merampungkanmu juga
: menikam jantung dan merobek zakarmu,
dalam segala ngilu.
Oleh :
Dorothea Rosa Herliany
Wednesday, April 15, 2015
Nikah Perkampungan
dengan sadar, aku kawini rumah rumah kardus.
tanpa cincin kawin, selain kemiskinan dan
ilmu daur ulang. tanpa perjamuan, selain wabah
dan ilmu tata kota. tanpa nyanyian pengiring,
selain ketergusuran hewan hewan jelata.
dengan sadar, aku nikahi dunia yang gelisah.
sambil kuganti doa jadi harapan. kuganti
janji jadi ratapan.
kunikahi jaman yang sekarat minta susu.
pengantin yang tak pernah ku nikahi, tapi
minta menetekku dengan bahasa ketakutan.
Oleh :
Dorothea Rosa Herliany
Tuesday, April 14, 2015
Nikah Laut
Garam garam itu kau peras dari keringat
nelayan. Aku pilih ikan ikan dari persetubuhannya
dengan laut. sama asinnya dengan kecemasan
tak usai usai.
kita menunggu di puncak karang. dalam debur
ombak dan nafasnya. menyaksikan pertemuan langit dan laut yang terjaring jala jala.
inilah perkawinan yang sempurna!
Oleh :
Dorothea Rosa Herliany
Monday, April 13, 2015
Nikah Ilalang
engkau nikahi ilalang. berumah di negeri
semak semak. diamlah dalam kemerisik angin
yang mengecoh cakrawala.
tapi orang orang lalu melayat padamu. terasa
kelam perkawinan dan pesta syahwat. engkau
butuhkan bunga bunga ditaburkan. Doa doa
penghabisan, dan ziarah bertubi tubi.
engkau nikahi ilalang. luas kebun luas bumi
luas langit luas jagat batinmu. engkau
nikahi kesunyian yang ditinggalkan abad abad
nanti. berkumur cabikan tanah kering dan
pestisida. berkumur jagat hewan kecil yang
mencari rumah rumah dalam tangis dan sekarat.
Oleh :
Dorothea Rosa Herliany
Sunday, April 12, 2015
Nelayan Tersesat
"sampanku tersesat di sebuah negeri terbuka,"
jerit seorang nelayan kecil dan papa.
"di mana mana pintu. siapa pun bebas memasukinya."
(ikan ikan merubung dan ternganga).
nelayan kecil itu bagai telah terbebas
dari sebuah lorong tertutup dan gelap.
dinding dinding memantulkan sakit
dan nestapa.
"berkatalah, dan mereka akan mendengar," ia
berkata. "bukalah mulutmu, dan tangan tangan
tergapai menyalammu." (ikan ikan merubung
dan ternganga).
"sampanku tersesat di sebuah negeri terbuka.
mereka akan mendengar harapan dengan tegur sapa.
untuk apa kail, sebab banyak mulut yang sedia
menjadi wakil untuk membunuh rasa lapar kita."
(ikan ikan merubung dan ternganga).
seorang nelayan kecil dan papa. matanya tak
cukup tajam untuk meraba raba. hatinya terlalu
teduh buat keisengan tegur sapa. dadanya terlalu
terbuka buat harapan harapan.
kebisuan dinding dinding langit yang dingin
mendesis dan meronta. derita terkibas
sayap sayap emasnya.
Oleh :
Dorothea Rosa Herliany
Subscribe to:
Posts (Atom)